Selasa, 05 Juni 2012

strategi pengajaran afektif


STRATEGI PENGAJARAN AFEKTIF

A.    Pendahuluan

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, juga mengembangkan manusia seutuhna. Dalam rangka pengembangan manusia seutuhnya itu tujuan pengajaran tidak terbatas hanya pada kawasan kognitif, tetapi meliputi juga kawasan afektif dan psikomotorik. Pada hakekatnya, ketiga kawasan itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh.
Oleh karena itu, berbicara tentang tujuan pengajaran tidaklah lengkap kalau hanya mebicarakan tujuan pengajaran pada kawasan afektif. Kita sering menemukan misalnya, orang yang mengetahui benar arti dari rambu-rambu lalu lintas. Bahwa di persimpangan jalan kalau lampu merah menyala, berarti tidak boleh jalan terus. Tetapi, beberapa banyak mereka yang mengetahui arti rambu-rambu itu yang melanggarnya. Contoh ini menunjukkan bahwa tidak hanya pengetahuan tentang peraturan lalu lintas yang perlu dikuasai, tetapi juga kesadaran tentang nilai-nilai.
Terhadap hal ini beberapa ahli berpendapat bahwa nilai itu tidak bisa diajarkan, seperti halnya Matematika, Fisika, Ekonomi, dan lain-lain. Nilai itu hanya bisa “ditangkap” oleh siswa apabila ia ditampilkan dalam lingkungan mereka. Salah satu strategi pengajaran yang dapat digunakan untuk maksud itu ialah Teknik Klarifikasi Nilai atau Value Clarification Teachnique (VCT) atau Teknik Pembinaan Sikap, Nilai, dan Moral.

B.     Nilai

Pengajaran afektif berhubungan dengan nilai (value). Oleh karena itu, sebelum kita berbicara tentang strategi pengajaran afektif, terlebih dahulu perlu dikaji pengertian tentang nilai itu sendiri. Nilai (value, valere) berhubungan dengan apa yang dianggap baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, adil dan tidak adil, efisien dan tidak efisien, dan sebagainya. dalam hubungan ini, J.R. Fraenkel mengemukakan beberapa ciri tentang nilai sebagai berikut:
1.      Nilai adalah suatu konsep yang tidak berada di dalam dunia empirik, tetapi di dalam pikiran manusia. studi tentang nilai biasanya berada dalam lapangan estetika dan etika. Estetika berhubungan dengan apa yang indah, yang enak dinikmati, sedangkan etika berhubungan dengan bagaimana seharusnya orang berperilaku, apa yang benar dan apa yang salah.
2.      Nilai adalah standar perilaku, ukuran yang menentukan apa yang indah, apa yang efisien, apa yang berharga yang ingin dipelihara dan dipertahankan. Sebagai standar, nilai merupakan pedoman untuk menentukan pilihan. Antara lain menentukan jenis tindakan atau perbuatan apa yang patut dilakukan. Standar perbuatan seperti itu disebut nilai-nilai moral yang menuntun seseorang untuk berbuat sesuatu tentang apa yang dianggap benar dan layak.
3.      Nilai itu direfleksikan dalam perbuatan atau perkataan. Nilai itu sangat abstrak dan menjadi konkret bila seseorang bertindak dengan cara tertentu.
4.      Nilai itu merupakan abstraksi atau idealis manusia tentang apa yang dianggap paling penting dalam hidup mereka. Karena itu, nilai dapat dibandingkan, dipertentangkan, dianalisis dan didiskusikan, serta digeneralisasikan. Pada pihak lain, nilai juga memiliki dimensi emosional. Nilai tidak hanya sesuatu yang idealis, tetapi juga merupakan komitmen emosional yang kuat.
Nilai terdapat di dalam semua bidang kehidupan. Di dalam bidang pergaulan ada nilai-nilai sebagai pedoman bagi seseorang untuk bergaul, yang kita kenal sebagai nilai kesopanan. Di dalam kehidupan berekonomi ada nilai-nilai ekonomi yang menjadi pedoman untuk berekonomi. Di dalam pergaulan hukum ada nilai-nilai yuridis sebagai pegangan tentang apa yang adil. Keseluruhan nilai-nilai tersebut membentuk suatu sistem nilai, yang susunannya bagi setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang menempatkan nilai ekonomi pada tempat yang paling tinggi, dan semua yang lain ditempatkan menurut urutan kepentingannya di bawah ekonomi.
Nilai yuridis misalnya, jika ditempatkan di bawah nilai ekonomi berarti keadilan ditentukan oleh ekonomi. Kalau nilai religi ditempatkan di bawahnya maka ibadah berorientasi pada keadilan dan ekonomi. Sebaliknya, kalau nilai religi ditempatkan paling tinggi, berarti nilai lain seperti ekonomi, yuridis, etik, estetika, sosial, terarah pada religi. Setiap orang mempunyai susunan tertentu tentang nilai yang paling penting, agak penting, kurang penting, dan sebagainya. yang dikatakan materialistis adalah orang memutlakkan nilai ekonomi. Susunan nilai itu bisa berubah-ubah. Bagi seseorang, apa yang dianggapnya penting hari ini, besok dianggapnya kurang penting. Karena sifatnya yang demikian, maka sistem nilai itu bisa dibina di dalam diri seseorang.
Sistem nilai sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, merupakan pedoman untuk mengarahkan perilaku seseorang dalam bertindak. Seseorang memutuskan untuk berbuat sesuatu  pada saat tertentu hanya apabila perbuatan tersebut dianggap baik pada saat itu.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap. Menurut Thorstone (1975), sikap atau attitude ialah a degre of positive or negative associated psychological object atau tingkat kencenderungan atau pernyataan gejala senang atau tidak senang dari seseorang terhadap suatu objek. Jika seseorang berhadapan dengan suatu objek tertentu, maka responsnya diekspresikan dalam bentuk sangat senang, agak senang, tidak acuh, kurang senang, atau tidak senang. Kalau objek itu adalah musik rock, maka ekspresi itu tampak dalam bentuk gerakan kakinya yang dihentakkan secara spontan (sangat senang), atau sebaliknya ia tutup telinga (tidak senang).
Sikap yang kelihatan-senang atau tidak senang- itu berada dalam kawasan afektif, tidak bisa dipisahkan dari kognitif dan psikomotorik. Penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
  1. Nilai tak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
  2. Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik
  3. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina
  4. Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap-tahap tertentu.

C.    Beberapa Dasar Pemikiran

Komitmen seseorang terhadap nilai dapat dinyatakan antara lain pada kepatuhannya terhadap suatu yang dianggap baik. Seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dianggapnya baik dengan bermacam-macam alasan. Beberapa diantaranya dapat dikemukakan di bawah ini:
1.      Wright mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat sesuatu, yaitu:
a.       Hedonitas tanpa moral. Pertimbangan untuk melakukan sesuatu didasarkan pada kegunaan bagi diri sendiri. Seseorang melakukan sesuatu kalau hal itu berguna bagi dirinya sendiri, dan tidak mau melakukannya jika tidak ada manfaatnya bagi dirinya sendiri.
b.      Rasional. Pertimbangan untuk melakukan sesuatu didasarkan pada logika seseorang. Kalau sesuatu itu tidak masuk akalnya, maka ia tidak akan melakukannya.
c.       Tingkat kesadaran. Seseorang berbuat atau tidak berbuat sesuatu tergantung pada tingkat kesadarannya
d.      Konfirmitas. Seseorang berbuat sesuatu hanya untuk menyesuaikan diri dengan pihak lain, dan tidak muncul dari kesadaran sendiri.
2.      Douglas Graham melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan terhadap nilai tertentu.
a.       Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Kepatuhan terhadap hukum ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu; 1) kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri, 2) kepatuhan pada proses tanpa mempedulikan normanya sendiri, dan 3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b.      Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c.       Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d.      Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari empat faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu:
a.       Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve, kepatuhan yang “ikut-ikutan” atau sering disebut “bebekisme”.
b.      Konformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai 3 bentuk; 1) konformist yang directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain; 2) konformist hedonist, kepatuhan yang berorientasi pada “untung-ruginya” bagi diri sendiri; dan 3) konformist integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
c.       Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten atau apa yang sering disebut “plinplan”
d.      Hedonik psikopatik. Kepatuhan pada kenyataan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain
e.       Supra moralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
3.      Fraenkel menyebut 6 faktor yang mempengaruhi komitmen terhadap sesuatu nilai, yaitu:
a.       Immediacy (hal yang mendesak). Orang melakukan sesuatu pada saat tertentu karena kepentingan yang mendesak. Pola nilai yang dianutnya sebenarnya tidak sesuai dengan perilaku sesaat itu. Seseorang terpaksa mencuri pada saat tertentu, sebab kalau tidak demikian ia akan mati kelaparan. Mencuri itu sendiri sebenarnya tidak mau dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa.
b.      Austerity. Berprinsip untuk memuaskan keinginannya, menghabiskan apa adanya. Biasanya terjadi dalam bidang seks, ekonomi, sosial, politik.
c.       Authenticty. Rasa kesadaran dikalahkan oleh kuasa atau wewenang orang lain.
d.      Keterbukaan. Keterbukaan yang begitu luas sehingga sukar dicari kepastian, seperti dalam dunia seni dan ilmu pengetahuan
e.       Otonomi, emansipasi, dan tanggung jawab sering mengalahkan kepatuhan dan kesadaran diri sendiri
f.       Reverence, hal-hal yang menyangkut kesenangan, cinta, kepercayaan yang mengalahkan kesadaran atau kepatuhan seseorang.

D.    Teori Perkembangan Moral

Nilai atau moral perkembangan di dalam diri seseorang melalui proses yang cukup lama. Anak berusia tiga tahun belum tahu apa yang dikatakan sopan dan tidak sopan, atau apa yang adil dan tidak adil. Oleh karena itu, tidak dapat dituntut darinya untuk bersikap sopan dan bertindak adil. Nilai-nilai seperti itu tidak berada di dalam dirinya, tetapi diluar dirinya. Tingkat perkembangan dirinya mengakibatkan bahwa tidak mungkin pada usia seperti itu memasukkan nilai-nilai itu di dalam dirinya. Ia butuh waktu untuk bisa memiliki nilai seperti itu.
Tahap-tahap pemilikan nilai itu bagi diri seseorang menurut Norma Y. Bull terjadi dalam empat tahap seperti digambarkan pada bahan di bawah:

























Anomous            Hetero-nomous         Socio-nomous                Auto-nomous

Perkembangan itu dimulai dari tidak kenal nilai (anomous), kemudian mengenal nilai itu diluar dirinya (hetero-nomous), kemudian mengenal nilai dalam lingkungan sosial (social-nomous) dan terakhir memiliki sendiri nilai bagi diri sendiri (auto-nomous). Dengan kata lain, nilai itu berada diluar diri yang bersangkutan kemudian masuk dalam lingkungan sosialnya, baru masuk di dalam dirinya.
Proses perkembangan ini menurut Kohlberg terjadi dalam enam tahapan yang dibagi dalam tiga tingkatan sebagai berikut:

Tingkatan Prakonvensional
      Tahap 1           : Orientasi hukuman dan kepatuhan
      Tahap 2           : Orientasi relativis instrumental

Tingkat Konvensional
      Tahap 3           : Orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”
      Tahap 4           : Orientasi hukum dan ketertiban

Tingkat Pascakonvensional otonom atau berprinsip
      Tahap 5           : Orientasi kontrak sosial legalistis
      Tahap 6           : Orientasi asas etika universal

Tingkatan pertama disebut prakonvensional karena pada taha-tahap ini anak belum mempunyai orientasi sosial. Ia belum memahamiapa yang disebut sopan, adil, etis, dan sebagainya. tingkat ini terdiri atas dua tahap, masing-masing dengan orientasi yang berbeda. Tahap pertama disebut orientasi hukum dan kepatuhan. Pada tahap ini anak patuh kepada suatu perintah bukan karena kesadarannya, melainkan pada hakikat jika perintah itu dilanggar atau dilakukan.
Seorang ibu yang pergi belanja ke pasar berkata kepada anaknya “Nak, jangan keluar dari rumah selama ibu pergi. Kalau kamu keluar, maka ibu tidak akan memberi kamu makan siang nanti.” Anak mematuhi perintah itu, semata-mata karena takut tidak diberi makan siang. Kepatuhannya berorientasi pada akibat atau ganjaran dari ketidakpatuhan itu.
Orientasi itu akan berubah pada tahap kedua. Tahap ini disebut orientasi relativis instrumental. Disini instrumental itu berupa perbuatan. Kepatuhan didasarkan pada perbuatan timbal balik. “Garuk punggungkyu, kugaruk punggungmu.” Artinya ialah melakukan suatu perbuatan jika perbuatan serupa diperbuat juga terhadapnya.
Pada tingkat kedua orientasi anak mulai berkembang. Ia mulai melihat dirinya sebagai bagian dari kelompok sosialnya. Karena itu tingkat ini disebut tingkat konvensional. Tingkat ini dilalui dalam dua tahap, yaitu tahap ketiga dan tahap keempat. Tahap ketiga ini disebut orientasi “anak manis”. Ia sudah melihat kelompok sosial yang kita sebut kelompok “anak manis”, atau “anak teladan”, dan ingin masuk ke dalam kelompok itu. Untuk itu ia berusaha mengarahkan perilakunya ke dalam kelompok tersebut.
Pada tahap keempat, atau tahap kedua dalam tingkat ini, orientasinya berubah menjadi orientasi hukum dan ketertiban. Ia melihat bahwa aturan-aturan yang ada dalam masyarakat atau kelompok sosial dalam masyarakat itu merupakan sesuatu yang baik untuk dilakukan dalam kehidupannya. Tetapi makna dari peraturan itu sendiri belum dipahaminya. Hal ini dapat kita ketahui jika anak bermain dalam kelompoknya. Ia memeprhatikan benar aturan-aturan dalam permainan itu. Kemudian ia berusaha untuk menaati peraturan itu, tidak menjadi soal apakah ia memenangkan permainan atau tidak. Temannya yang melanggar aturan itu akan disingkirkan dari kelompoknya.
Dalam tingkat ketiga yang disebut tingkat pascakonvensional, nilai-nilai sudah mulai bergerak masuk ke dalam dirinya sendiri melalui dua tahap, yaitu tahap kelima dan tahap keenam. Tahap kelima berorientasi pada kontrak sosial legalitas, sehingga kepatuhan terhadap aturan-aturan adalah kepatuhan atas dasar kesadaran karena memahami fungsinya dalam hubungan sosial. Dan pada tahap terakhir, kepatuhan pada aturan didasarkan pada kesadaran yang bersifat etis universal. Pada tahap ini terjadi internalisasi dan karakterisasi nilai.
Ciri-ciri dari perkembangan ini menurut Kohlberg sebagai berikut:
1.      Perkembangan tahap selalu sama. Seseorang mesti melangkah melalui tahap-tahap itu secara berurutan. Tidak dapat melalui tahap tertentu tanpa melalui tahap sebelumnya.
2.      Dalam perkembangan tahap, subjek tidak dapat memahami penalaran moral tahap di atasnya lebih dari satu tahap.
3.      Dalam perkembangan tahap, subjek secara kognitif tertarik pada cara berpikir satu tahap di atas tahapannya sendiri
4.      Dalam perkembangan tahap, peralihan dari tahap ketahap terjadi bilda diciptakan disequilibrium kognitif, yaitu bila pandangan kognitif seseorang tidak mampu lagi menyelesaikan suatu dilema moral yang dihadapinya.

E.     Taksonomi Domain Afektif

        Dilihat dari strategi belajar-mengajar, proses pembinaan nilai dalam kawasan afektif (Krathwahl) melalui lima tahapan secara hirarkis, sebagai berikut:
Tingkat
Unsur
1.      Menerima (receiving)
            Kesadaran (awareness)
            Kemauan menerima (willingnes to receive)
            Pemusatan perhatian (controlled/selected attention)
2.      Menanggapi (responding)
            Kesediaan menanggapi (acquiescence in responding)
            Kemauan menanggapi (willingness to respons)
            Kepuasan dalam menanggapi (satisfaction in response
3.      Penilaian (valuing)
            Penerimaan suatu nilai (acceptance of value)
            Pemilihan suatu nilai (preference for value)
            Keterikatan (commitment)
4.      Mengorganisasi (organization)
            Konsep kita terhadap nilai (conseptualization of value)
            Pola mengorganisasi ke dalam sistem nilai (organization of value system)
5.      Mempribadikan nilai Characterization (value complex)
            Menggeneralisasikan (generalized set)
            Mempribadikan (characterization)

Berkembangnya suatu minat atau penghargaan terhadap suatu nilai tertentu memerlukan beberapa tahap pada domain afektif, sebagai berikut:
  1. Minat : dimulai dari 1.1. sampai pada 3.2.
  2. Penghargaan : mulai dari 1.3. sampai pada 3.2.
  3. Sikap : mulai dari 2.3. sampai pada 4.2.
  4. Penyesuaian diri: mulai dari 2.3. sampai pada 5.2.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, afektif tidak bisa terlepas dari domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini tampak jelas pada teori perkembangan moral dari Kohlberg di atas. Kepatuhan selalu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.

F.     Implikasi Dalam Strategi Belajar-Mengajar

1.      Tujuan Pengajaran
Kita mengenal dua mcam tujuan pengajaran, yaitu tujuan instruksional (instructional effect) dan tujuan iringan (nutrunant effect). Tujuan instruksional dinyatakan secara eksplisit dalam GBPP, dan dicapai oleh siswa sesuadah mengikuti seluruh proses belajar-mengajar di kelas. Dengan kata lain, tujuan ini merupakan akibat dari proses instruksional yang telah dirancang oleh guru (desain instruksional) sebelumnya. Apakah tujuan instruksional suatu program pengajaran diarahkan pada efektif atau tidak, tergantung misi kurikulum pada GBPP.
Pada umumnya mata pelajaran dasar umum seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia banyak memuat tujuan pada domain afektif. Menghargai pahlawan nasional, menghargai keyakinan orang lain, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, adalah contoh-contoh tujuan instruksional yang bermuara pada afektif.
Berbeda dengan tujuan iringan, yang hanya dapat dimiliki oleh siswa jika terlibat di dalam proses belajar-mengajar. Ia mencapai tujuan ini di dalam dan bukan pada akhir proses belajar mengajar. Tujuan iringan juga tidak ditemukan secara eksplisit di dalam GBPP, tetapi bergantung kepada guru sendiri terutama pada strategi belajar-mengajar yang dirancang oleh guru yang bersangkutan. Tujuan iringan seperti menghargai pendapat orang lain, bersikap kritis, bangga pada hasil pekerjaan sendiri, dan lain-lain adalah tujuan yang berada dalam kawasan afektif. Tujuan-tujuan seperti ini dapat diperoleh melalui penampilan guru di dalam dan di luar kelas, situasi yang diciptakan oleh guru dalam mengelola pelajaran, dan penampilan pribadi guru yang bersangkutan. Sikap disiplin dari seorang guru akan menular kepada siswa.
2.      Stimulus
Stimulus adalah bahan yang digunakan oleh guru ketika mengawali pelajarannya di kelas sebelum masuk ke dalam pokok bahasan. Bahan ini menghubungkan apa yang telah dimiliki oleh siswa dengan apa yang akan dipelajari sekaligus untuk mengaktualisasikan bahan dan membangkitkan minat keingintahuan. Bahan untuk ini tidak diambil dari buku pelajaran, tetapi dari lingkungan siswa sendiri. Bahan ini bersifat conflict isues, dan bisa diambil dari realitas sosial atau cerita, atau berbentuk permainan (game) atau gambar-gambar atau kliping.
3.      Evaluasi
Evaluasi nilai memerlukan suatu cata tersendiri, yaitu dengan menggunakan skala nilai atau observasi (non-tes)
Contoh :
a.       Nilai : cinta
Bisa diukur menurut rangking, dan menempatkan jawaban siswa pada rangking yang sesuai.
Alasan
Rangking
Cantik/ganteng
1
Keturunan
2
Keterbukaan
3
Keramahan
4
Pendidikan
5
Keimanan
6

b.      Topik : Penghijauan
Seberapa jauh keinginan Anda untuk:
No
Isu
Rangking
1
Memelihara tanaman dalam pot
1 2 3 4 5
2
Menanam dan memelihara tanaman di pekarangan

3
Tidak mengganggu tanaman di taman umum

4
Tidak melukai pohon di tempat rekreasi umum

5
Tidak menebang pohon di tempat perkemahan

6
Ikut serta dalam gerakan penghijauan

7
Ikut serta berusaha memelihara kelestarian lingkungan/alam


G.    Interpenetrasi Domain Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik

Pendidikan yang dirancang berdasarkan kompetensi mempunyai dimensi-dimensi yang saling berhubungan yang menampilkan diri dalam praktik kehidupan sebagai suatu perilaku yang wajr, normal, dan tidak dibuat-buat. Jadi yang terjadi adalah suatu proses yang menyatukan pengetahuan dan nilai sedemikian rupa, sehingga tampak ekspresinya dalam perilaku sebagai pola kelakuan yang standar. Inilah yang dinamakan belajar secara tuntas. Apa yang terjadi, bukanlah hanya mampu menghubungkan, bukan juga hanya integrasi melainkan interpenetrasi dari kognitif, afektif, dan psikomotor (perfoemance). Mudah-mudahan Anda dapat merasakan powerful proses ini. Sebagai gambaran output yang utuh dari proses aktualisasi nilai (valuing process) dimaksud, terdapat dalam ekspresi ini: “Si Polan Berpendirian bahwa karyanya merupakan bagian integral dari ibadahnya.”
Dalam sejarah/pengalaman praktik pendidikan nilai, tercatat paling sedikit tiga metode utama (Toffler, 1974: 259-263).
Pertama: moralizing-sangat mirip dengan indoktrinasi. Mengapa tidak berhasil? Perhatikan anak/pemuda masa kini. Ia “dibombardir” oleh perangkat nilai yang berbeda-beda dan seringkali saling bertentangan: perangkat nilai yang berasal dari orang tua (lingkungan keluarga) versus sekolah: nasional vs etnis; agama vs sekuler. Biasanya, ia mengalami kesulitan untuk memilih berbagai alternatif yang ada –jadi – menimbulkan kebingungan. Nilai-nilai “kejujuran”, “spiritual”, “patriotik” memang sangat luhur, tetapi belum tentu menyelesaikan dilema yang spesifik dihadai oleh orang muda, misalnya, ……mengapa warga negara yang patriotik harus mati dalam perang Vietnam atau Bosnia; mengapa buruh yang memperjuangkan hak rekan sejawatnya harus dibunuh atau yang religius dan patriotik harus menyelesaikan persengketaan dengan teror dan kekerasan? Pada aras yang lebih sederhana, mengapa pada waktu lampu lalu lintas menjadi merah justru sopir bisa menancap gas untuk melewatinya. Asumsi bahwa nilai yang lama (dahulu) dapat diturunkan/diajarkan oleh orang rua, guru, maupun pemimpin dengan upaya “memoralkan” (moralizing) orang muda, kini tidak mempan.
Kedua, pendekatan laizzez fair (biasanya terdapat pada masyarakat industrial). Kesadaran bahwa “moralizing” ditolak oleh kebanyakan orang muda membuat sebagian pendidikan mengembangkan approach “laissez fair”……” tampaknya tidak ada nilai yang diajarkan dapat menyelesaikan dilema yang disebabkan konflik nilai pada orang muda;…….tampaknya ada kecenderungan bahwa setiap individu harus mengembangkan nilainya sendiri jikalau nilai-nilai tersebut akan berguna baginya;……karena itu……saya akan memberi kebebasan bagi orang muda untuk………mencari sendiri………menentukan sendiri, dan akhirnya menemukan sendiri nilai yang terbaik bagi diri mereka. Walaupun tampaknya pendekatan ini menarik, sebenarnya dilema pada orang muda tidak terselesaikan, karena mereka tetap saja “dibombardir” oleh nilai saling berbeda dan bertentangan itu. Dari situasi itu, ia masih harus memutuskan mana yang baik dan buruk dari semua yang dikatakan kepadanya. Apabila, secara hakiki, orang muda sama seperti orang lain, yakni membutuhkan pertolongan orang lain untuk menyelesaikan berbagai dilema hidupnya.
Ketiga, adalah modelling approach. Karena tidak menyetujui moralizing maupun laizzez fair, pendidik lain memilih modelling sebagai cara untuk mentransmit nilai kepada orang muda. Sebagai orang dewasa…….”saya akan mendemonstrasikan nilai yang saya hayati sebagai standar…….dan dengan demikian menjadi teladan atau model bagi orang muda.
Kembali dilema pada orang muda tidak terselesaikan karena adanya model tadi. Orang muda diekspos pada berbagai model dalam masyarakat: ada model Hollywood, ada raja Rock’n roll; dangdut, seksi, dan sebagainya. dari sisi positif model seolah-olah sumber alternatif yang pasti kepada orang muda, tetapi kesukaran yang mempengaruhi pikiran dan pribadi yang masih “luntur” dan muda adalah hipokrasi dan ketidak-konsistenan antara apa yang dimodelkan dan dilakukan. Dalam banyak hal, pendidik sendiri menghadapi dilema apabila ini menjadi model yang konsisten terus-menerus; sangat sukar mempertahankan netralitas dan objektivitas, apalagi dalam situasi standing profesional yang secara finansial sangat lemah.










H.     









Duska, Ronald & Whelan, Marie. 1982. Perkembangan Moral: Perkenalan dengan Piaget-Kohlberg. Penerbit Yayasan Kanisius. Yogyakarta.

Fraenkel, J.R. 1980, Helping Student Think and Value: Strategies for Teaching the Social Sciences. Prentice Hall. Inc. New Jersey.

Toisuta, Willi, 1994, Interpenetrasi Domain Kognitif, Afektif, Psikomotorik. Ceramah pada Pendidikan Kader GMKI di Salatiga.

Toffler, A.ed. 1974. Learning for Tomorrow: The Role of Future in Education. Vintage Books. USA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar