Jumat, 15 Juni 2012

filsafat agama


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Individu manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan apapun, tetapi ia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan dan peradaban. Dengan memfungsikan fitrah itulah ia belajar dari lingkungan dan masyarakat orang dewasa yang mendirikan institusi pendidikan. Kondisi awal individu dan proses pendidikannya tersebut diisyaratkan oleh Allah di dalam firman-Nya sebagai berikut:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur. (Q.s. al-Nahl, 16: 78)

Masyarakat primitif pun memiliki kondisi yang serupa dengan individu manusia yang baru lahir. Mereka pada mulanya tidak berperadaban. Namun, proses belajar dengan mengikuti pola-pola dan norma-norma social, mengikatkan diri pada ideology dan system nilai, serta terlibat dalam aktivitas saling menukar pengetahuan dan pengalaman, mereka kemudian menjadi masyarakat yang berperadaban dan beradab.
Allah telah memuliakan hamba-hamba-Nya dengan agama yang hanif dan Islam yang agung. Dengan agama ini umat Islam pernah bersatu menjadi kekuatan besar dan mampu memimpin dunia, padahal sebelumnya mereka terhina, bercerai, dan lemah. Semua nikmat itu ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya di bawah ini:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. (Q.s. Ali’Imran, 3: 110)

Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka (Q.s. al-Anfal, 8: 63)

Islam yang hanif itu aalah potensi dasar yang dimiliki umat dan merupakan kunci kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Potensi dasar tersebut sekaligus merupakan bagian dari watak dan kepribadian generasi umat sekarang. Generasi ini akan lemah apabila hubungan mereka dengan Islam melemah, dan akan sengsara apabila jauh darinya. Atas dasar itu, untuk membenahi generasi akhir umat ini tidak lain harus digunakan cara yang sudah digunakan dengan baik untuk membenahi generasi umat terdahulu.
Islam yang hanif merupakan jalan hidup yang memperhatikan individu dan masyarakat serta aspek material dan aspek spiritual secara simultan. Islam menjelaskan makna ibadah, menguatkan nilai amal, memperhatikan urusan hidup, dan menata berbagai urusan dunia seperti ekonomi, politik, hukum, pendidikan, ilmu dan kemasyarakatan. Dalam pada itu, Islam adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan akhirat yang bahagia.
Sejak awal kelahirannya, Islam memberi perhatian kepada individu; mengatur hubungan dengan Tuhan, diri, keluarga, dan masyarakatnya, disamping dengan lingkungan fisik sekitarnya. Bersamaan dengan itu, Islam mengatur urusan hidup masyarakat, kemudian hubungan antara Negara Islam dan Negara lain serta seluruh umat manusia.
Dari uraian di atas maka penulis ingin mengulas bagaimana peran filsafat agama sebagai super solusi untuk menjawab persoalan-persoalan hidup dalam kehidupan.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
“bagaimana peran filsafat dalam menyelaraskan kehidupan untuk menjawab persoalan-persoalan hidup di masyarakat ?”

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah :
“penulis ingin mengetahui peran filsafat dalam menyelaraskan kehidupan untuk menjawab persoalan-persoalan hidup di masyarakat”


BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Lingkup Filsafat
Persoalan paling sulit yang dihadapi seseorang ketika mengkaji filsafat ialah menyusun definisi yang komprehensif (jami’) dan benar-benar terbatas (mani’) tentang filsafat. Beberapa disiplin mungkin akan bersikap apriori terhadap persoalan tersebut, tetapi filsafat memandang hal itu merupakan masalah dan termasuk persoalan paling controversial hingga dewasa ini. Akar persoalannya terletak pada anggapan bahwa yang ada bukan hanya satu filsafat, melainkan banyak filsafat. Setiap masa mempunyai filsafat dan para filosofnya, serta definisi-definisi yang berbeda sesuai dengan perbedaan masa dan para filosofnya.
Filsafat telah berkembang dari sekedar berarti cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan menjadi berpikir sistematis tentang ontology, epistemology, dan aksiologi, dari berpikir tentang metafisika menjadi berpikir tentang manusia dengan segala problemnya, alam, dirinya dan lain-lain; dari bersandar kepada mazhab-mazhab ekslusif dan system-sistem yang kaku menjadi bersandar kepada mazhab-mazhab inklusif dan sistem-sistem yang elastis; serta dari mendukung yang absolute menjadi percaya kepada yang relatif. Pendek kata, filsafat merupakan khazanah umat manusia yang berisi perkembangan kemajuan manusia menuju kematangan.
Filsafat telah difahami dengan pemahaman yang berbeda-beda. Mula-mula filsafat diartikan sebagai “kebijaksanaan hidup”; kemudian dipandang sekedar “keheranan” atau bertanya-tanya. Sementara itu, ada orang yang mendefinisikan filsafat sebagai “bagian dari keyakinan”, dan yang lain sebagai “pandangan menyeluruh terhadap segala sesuatu.” Ada pula orang yang memandang filsafat filsafat sekedar “perubahan pikiran” atau sekedar “analisa kebahasaan”. Dengan mengesampingkan konsep yang disebut terakhir, Le Senne menyatakan bahwa “filsafat ialah deskripsi tentang pengalaman.”
Filsafat ibarat gudang tempat manusia menyimpan kekayaan pengalaman yang diperolehnya melalui interaksi dengan jagat raya, diri dan sesamanya. Kekayaan tersebut bertambah terus dari hari ke hari dan merupakan kekayaan bergerak, dalam arti pengambilan darinya dan penambahan kepadanya merupakan sesuatu yang diperhitungkan.
Manusia menggunakan kekayaan pengalamannya untuk menafsirkan setiap persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian, filsafat merupakan cermin yang memantulkan gambar pandangan, individu terhadap setiap orang dan sesuatu yang ada di sekitarnya. Gambar tersebut memantul dalam bentuk tingkah laku dan inetraksi yang memungkinkan orang lain mengetahui pandangan individu tersebut terhadap berbagai persoalan. Apa yang berlaku pada individu berlaku pula pada masyarakat, sebab hubungan antara system masyarakat dan berbagai institusinya serta antara satu masyarakat dan masyarakat lain diatur oleh filsafat sebagai disiplin yang mendefinisikan dan menjelaskan hubungan tersebut.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.      Fungsi ideal-kultural
2.      Fungsi social-kemanusiaan
3.      fungsi ilmiah-masa depan
Dari fungsi-fungsi tersebut lahir hasrat manusia untuk menjawab pertanyaan. “Mengapa penulis menjalankan peran ini dan untuk kemaslahatan siapa”” Hasrat itu muncul karena hal-hal sebagai berikut:
  1. Manusia dengan filsafatnya memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang sedang berlaku, memilih di antaranya, dan melakukan apa yang dikehendakinya; kemudian menambah dan menguranginya sesuai dengan garis filsafat yang diikuti individu atau masyarakat di mana ia hidup. Sebab, filsafat merupakan norma yang memberi individu batasan tentang jenis kebudayaan yang dipilihnya dan mengemas kebudayaan tersebut dengan baju sosial yang mendefinisikan fungsi dan perannya.
  2. Manusia adalah individu di dalam komunitas. Ia baru akan menyadari kemanudiannya apabila berada di dalam komunitas yang terdiri atas sejumlah kekuatan sosial yang dijalin oleh berbagai kemaslahatan dan ikatan. Kekuatan-kekuatan tersebut memiliki filsafat yang mengarahkan berbagai persoalan di dalam dan diluar komunitas. Filsafat tersebut merupakan jiwa komunitas dan berada di tengah-tengah kondisi histories yang berkaitan dengan semangat zaman di mana filsafat itu hidup. Filsafat, dengan fungsi sosialnya, menjadi kekuatan efektif di dalam komunitas, yang menggerakkannya untuk maju atau mundur sesuai dengan hukum perkembangan sejarah. Inilah yang dinamakan ideology yang diadopsi oleh masyarakat tempat individu hidup, baik ia menerimanya ataupun menolaknya. Dengan demikian, filsafat menjadikan individu sebagai manusia yang memiliki sikap dan merasakan hidup serta keberadaannya sebagai manusia.
Filsafat memiliki nuasan ilmiah, sebab filsafatlah yang merangkai kerangka bangunan ilmu; bahkan, filsafatlah yang meletakkan teori dan pernyataannya. Hal ini telah mendorong ilmuwan besar Einstein untuk mengatakan bahwa “objek ilmu apa pun, baik ilmu alam maupunpsikologi, adalah mengorganisasi dan menjalin pengalaman-pengalaman dalam suatu bentuk koordinasi yang logis.”
Sejarah ilmu telah membuktikan hubungan antara ilmu dan filsafat. Semua cendekia yang melakukan revolusi ilmiah besarpun adalah para filosof. Patut diakui bahwa sekarang filsafat telah meletakkan bagi ilmu formulasinya yang terbesar dan membukakan jalan baru untuk melakukan pembahasan, kemudian membiarkannya untuk menghasilkan sendiri temuan-temuan yang gemilang. Sementara itu, filsafat cukup memusatkan perhatian pada sebagian pembahasan di luar wilayah pembahasan yang menggunakan metode ilmiah, antara lain yang paling penting ialah problem nilai dan kesudahan hidup manusia.
Filsafat telah memberi perspektif kepada ilmu, sehingga ilmu mampu melakukan lompatan-lompatan baru yang membuatnya menang atas filsafat.

B.     Filsafat Agama Sebagai Penyelaras Kehidupan
Aalbert   Einstain   ilmuwan   piawai  yang menekuni  “Energi”  pernah  mengingatkan   manusia  di   belahan dunia agar tidak memalingkan diri dari daerah kekuatan besar yang disebut agama. Agama bagaikan bintang pengarah menuju totalitas hidup, sedangkan ilmu meringankan manusia dalam mengarungi hidup setelah iilmu membidani kelahiran sebuah teknologi.
Tersentuh oleh pemikiran Albert Einstain mengantar penulis untuk mensinergikan pikiran dengan mencoba memposisikan penulis untuk mensinergikan pikiran dengan mencoba memposisikan agama sebagai peyelaras kehidupan. Kita tentunya sepakat bahwa ilmu dengan berbagai keunggulannya, ternyata terhempas ketika misteri-misteri belum dapat secara tuntas dipecahkan. Ilmu, yang telah melahirkan teknologi dengan super cermatnya, masih harus memperhatikan “Probalitas” (teori kemungkinan), agamalah yang menguatkan orang dalam menentukan pilihan-pilihan yang tidak dapat diprediksikan oleh ilmu.
Inilah yang penulis  ungkap dengan bahasa yang sederhana, dengan harapan untuk mudah dipahami.
1.     Ilmu dan agama, memiliki dimensi yang berbeda dari langkah awalnya. Ilmu berangkat dari keragu-raguan, sedangkan agama berangkat dari keyakinan. Agama pada umumnya mempunyai tiga pilar komonen (kepercayaan keyakinan/aqidah, tata cara berhubungan manusia Tuhannya, dengan sesama manusia dan akan sekitarnya/syariah, budi pekerti yang mulia/akhlaqul karimah).
2.     Kepercayaan Keyakinan (Aqidah). Yakni kepercayaan dan keyakinan manusia adanya:
a.       Tuhan
b.      Petugas yang ditugasi Tuhan yang tidak dasap mata
c.       Rasul atau Nabi yang diberi Mu’jizat oleh Tuhan
d.      Kitab-kitab Tuhan
e.       Hari kemudian/Qiyamah
f.       Kepastian ketentuan, taqdir Tuhan
3.     Tata cara hubungan manusia dengan Tuhan-nya, dengan sesama manusia dan alam sekitarnya (Syariah)
4.     Budi pekerti yang mulia (Akhlaqul karimah)
a.       Untuk mempelajari titik pertama oleh Islam disampaikan oleh kitab-kitab taukhid atau aqoid
b.      Untuk titik ke dua pada kitab-kitab Fiqh yang dilandasi Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas dan Ijma’
c.       Untuk titik ketiga dilandasi dari kitab-kitab tersebut dengan memperhatikan unsur adat istiadat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Di Indonesia orang banyak berbeda pendapat perihal syariah, karena adanya intervensi penafsiran oleh tokoh-tokoh yang mempunyai pengikut. Karena seringnya beda pandangan terhadap  syariah, tak sedikit yang lari keluar dengan mengikuti ajaran sofi.
Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan proses yang suci untuk mewujudkan tujuan asasi hidup, yaitu beribadah kepada Allah dengan segala maknanya yang luas. Dengan demikian, pendidikan merupakan bentuk tertinggi ibadah dalam Islam dengan alam sebagai lapangannya, manusia sebagai pusatnya, dan hidup beriman sebagai tujuannya.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.s. al-Dzariyat, 51: 56)
(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (Q.s. al-An’am, 6: 102-103)

Ibadah dalam Islam memiliki konsep yang luas, baik dari segi isi, waktu, ataupun tempat. Dari segi isi, pemerintah yang menegakkan keadilan diantara manusia, umpamanya, berada dalam kategori beribadah kepada Allah; demikian pula orang yang berjihad di jalan Allah. Pada prinsipnya, setiap perbuatan orang mukmin yang ditujukan untuk mencapai keridaan Allah termasuk dalam pengertian ibadah. Atas dasar prinsip tersebut proses pendidikan pun merupakan ibadah kepada Allah. Guru yang mengajar kebaikan kepada orang lain adalah orang yang beribadah kepada Allah; demikian pula siswa yang sedang mencari kebenaran.
…….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadilah, 58: 11)
Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah membawanya ke suatu jalan menuju surga. (H.R. Muslim)

Lapangan ibadah ilmiah tersebut jika boleh diistilahkan demikian adalah alam dengan bumi langitnya serta segala isinya, seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan benda-benda mati. Semua makhluk Allah tersebut perlu diteliti dan direnungkan agar manusia insyaf akan Penciptanya dan beribadah kepada-Nya. Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia dan sasaran taklif-Nya. Oleh sebab itu, manusia merupakan pusat proses pendidikan.

C.    Sepiritual Quetient Sebagai Super Solusi.
Sebuah fenomena pembalikan paradigma telah terjadi secara berturut-turut. Kecerdasan Intelektual atau IQ-Intellegence Quetient sudah tidak lagi dijadikan tolok ukur, namun harus sinergi dengan kecerdasan lainnya.
Kecenderungan yang hanya menonjolkan kecerdasan intelektual, maka membuat orang teralienasi dari lingkungannya. Perilaku inilah yang membuat orang, menjadi soliter dan seteril dari persoalan-persoalan hidup. Perilaku akan mengotori kebijakan-kebijakan publik yang selanjutnya akan memudarkan nilai-nilai kearifan.
Ketika nilai kearifan tersebut pudar, maka manusia memerlukan penyeimbang yang dinamai EQ-Emotion Quetient /kecerdasan Emosi. Hadirnya kecerdasan emosi ternyata belum mampu menjawab persoalan-persoalan yang hidup di masyarakat, maka pada gilirannya hadirlah sebuah “Super solusi” yang kita sebut dengan Sepiritual Quetient (SQ).
Bila seorang-orang cermat melihat ketiga kecerdasan tersebut, maka akan merenungkan jati dirinya, artinya bahwa kekuasaan Illahi masih dan selalau menjadi aktor pergulatan manusia.
Relasi positif antara ketiga kecerdasan ini membuat manusia bertindak tidak hanya dengan akalnya namun harus beriringan dengan nuraninya, inilah yang disebut “beradab”. Beradab inilah yang menjadikan sebagai tolak ukur melihat manusia yang manusia, ilmuwan yang ilmuwan.
Selanjutnya orang terus merajut nalarnya menjadikan relasi positif tersebut, untuk melahirkan kecerdasan baru yang disebut kecerdasan kepemimpinan, (Leader Quetient).
Triple kecerdasan ini tidak lain adalah “sunnatulloh”, yang tidak seorangpun mampu memprediksinya kedalaman khasanahnya.
Refleksi prinsip kesatuan dalam filsafat Islam tampak pada proses pendidikan. Pertama, prinsip kesatuan perkembangan indivisu dalam kerangka perkembangan masyarakat dan dunia. Kedua, prinsip kesatuan umat manusia yang merupakan karakteristik universalitas dalam pendidikan Islam. Ketiga, prinsip kesatuan pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan seni.
Menurut prinsip kesatuan umat manusia, seluruh manusia adalah makhluk Allah. Semuanya diciptakan agar saling mengenal dan saling menolong dalam menjalankan amar makruf nagi munkarm merealisasi prinsip persamaan dan keadilan, serta menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya ibadah kepada Allah, Tuhan alam semesta.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. (Q.s. al-Hujurat, 49: 13)
Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan agar kamu menjadi rahmat bagi alam semesta. (Q.s. al-anbiya’, 21: 107)

Islam menyadarkan kaum muslimin akan apa yang terdapat dan terjadi di luar tanah air mereka, menganjurkan mereka untuk mencari hikmah dan menutut ilmu dimana mereka mengabdikan diri bagi kepentingan umat manusia.








BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
1.      Filsafat telah berkembang dari sekedar cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan menjadi berpikir sistematis tentang ontology, epistemology, dan aksiologi, dari berpikir tentang metafisika menjadi berpikir tentang manusia dengan segala problemnya, alam, dirinya dan lain-lain
2.      Ilmu dan agama, memiliki dimensi yang berbeda dari langkah awalnya. Ilmu berangkat dari keragu-raguan, sedangkan agama berangkat dari keyakinan. Agama pada umumnya mempunyai tiga pilar komonen (kepercayaan keyakinan/aqidah, tata cara berhubungan manusia Tuhannya, dengan sesama manusia dan akan sekitarnya/syariah, budi pekerti yang mulia/akhlaqul karimah)
3.      Kecerdasan Intelektual atau IQ-Intellegence Quetient sudah tidak lagi dijadikan tolok ukur, namun harus sinergi dengan kecerdasan lainnya. Ketika nilai kearifan tersebut pudar, maka manusia memerlukan penyeimbang yang dinamai EQ-Emotion Quetient /kecerdasan Emosi. Hadirnya kecerdasan emosi ternyata belum mampu menjawab persoalan-persoalan yang hidup di masyarakat, maka pada gilirannya hadirlah sebuah “Super solusi” yang kita sebut dengan Sepiritual Quetient (SQ)

B.     Saran
        Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak untuk tetap mengkreasi pikiran dengan tetap menajamkan nuraninya, karena  ilmu hadir hanya pada diri seorang yang bijak. Ilmu tidak pernah hadir untuk dirinya, namun kehadirannya adalah membuat indahnya alam semesta. Agama membimbing orang bijak menemukan ilmu untuk kemaslahatan manusia dan alam semesta.
















DAFTAR ISI




HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii

BAB I     PENDAHULUAN
                   A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
                   B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3
                   C. Tujuan Penulisan................................................................................ 3

BAB II    KAJIAN TEORI
                   A. Lingkup Filsafat................................................................................. 4
                   B. Filsafat Agama Sebagai Penyelaras Kehidupan................................. 8
                   C. Sepiritual Quetient Sebagai Super Solusi........................................... 11

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
                   A. Kesimpulan........................................................................................ 14
                   B. Saran................................................................................................... 15











ii
 
 
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya, sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari makalah ini belum memenuhi harapan dari segenap pembaca, hal ini disebabkan kurangnya kemampuan penulis sangat memerlukan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan utama dari pengkajian makalah ini adalah untuk mengenal alur-alur berfikir dalam kegiatan keilmuan dan mencoba menerapkan kepada masalah praktis dalam kehidupan manusia dengan mengedepankan agama sebagai penyelaras kehidupan bermasyarakat.
Dukungan moral dari berbagai pihak penulis harapkan, sehingga hambatan dan halangan dapat teratasi, untuk itu penulis sampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada guru yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Akhirnya mudah-mudahan makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi perkembangan pendidikan  serta kemajuan dan perkembangan masyarakat dimasa mendatang.

                                                                                                     Penulis





iii
 
 
FILSAFAT AGAMA
SEBAGAI PENYELARAS 
KEHIDUPAN












Oleh :



 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar