STRATEGI PENGAJARAN AFEKTIF
A. Pendahuluan
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan selain untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, juga mengembangkan manusia seutuhna. Dalam rangka pengembangan manusia
seutuhnya itu tujuan pengajaran tidak terbatas hanya pada kawasan kognitif,
tetapi meliputi juga kawasan afektif dan psikomotorik. Pada hakekatnya, ketiga
kawasan itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu
kesatuan yang utuh.
Oleh
karena itu, berbicara tentang tujuan pengajaran tidaklah lengkap kalau hanya
mebicarakan tujuan pengajaran pada kawasan afektif. Kita sering menemukan
misalnya, orang yang mengetahui benar arti dari rambu-rambu lalu lintas. Bahwa
di persimpangan jalan kalau lampu merah menyala, berarti tidak boleh jalan
terus. Tetapi, beberapa banyak mereka yang mengetahui arti rambu-rambu itu yang
melanggarnya. Contoh ini menunjukkan bahwa tidak hanya pengetahuan tentang
peraturan lalu lintas yang perlu dikuasai, tetapi juga kesadaran tentang
nilai-nilai.
Terhadap
hal ini beberapa ahli berpendapat bahwa nilai itu tidak bisa diajarkan, seperti
halnya Matematika, Fisika, Ekonomi, dan lain-lain. Nilai itu hanya bisa
“ditangkap” oleh siswa apabila ia ditampilkan dalam lingkungan mereka. Salah
satu strategi pengajaran yang dapat digunakan untuk maksud itu ialah Teknik
Klarifikasi Nilai atau Value Clarification Teachnique (VCT) atau Teknik
Pembinaan Sikap, Nilai, dan Moral.
B. Nilai
Pengajaran afektif berhubungan dengan nilai (value).
Oleh karena itu, sebelum kita berbicara tentang strategi pengajaran afektif,
terlebih dahulu perlu dikaji pengertian tentang nilai itu sendiri. Nilai
(value, valere) berhubungan dengan apa yang dianggap baik dan tidak baik, indah
dan tidak indah, adil dan tidak adil, efisien dan tidak efisien, dan
sebagainya. dalam hubungan ini, J.R. Fraenkel mengemukakan beberapa ciri
tentang nilai sebagai berikut:
1.
Nilai adalah suatu konsep yang
tidak berada di dalam dunia empirik, tetapi di dalam pikiran manusia. studi
tentang nilai biasanya berada dalam lapangan estetika dan etika. Estetika
berhubungan dengan apa yang indah, yang enak dinikmati, sedangkan etika
berhubungan dengan bagaimana seharusnya orang berperilaku, apa yang benar dan
apa yang salah.
2.
Nilai adalah standar perilaku,
ukuran yang menentukan apa yang indah, apa yang efisien, apa yang berharga yang
ingin dipelihara dan dipertahankan. Sebagai standar, nilai merupakan pedoman
untuk menentukan pilihan. Antara lain menentukan jenis tindakan atau perbuatan
apa yang patut dilakukan. Standar perbuatan seperti itu disebut nilai-nilai
moral yang menuntun seseorang untuk berbuat sesuatu tentang apa yang dianggap
benar dan layak.
3.
Nilai itu direfleksikan dalam
perbuatan atau perkataan. Nilai itu sangat abstrak dan menjadi konkret bila
seseorang bertindak dengan cara tertentu.
4.
Nilai itu merupakan abstraksi
atau idealis manusia tentang apa yang dianggap paling penting dalam hidup
mereka. Karena itu, nilai dapat dibandingkan, dipertentangkan, dianalisis dan
didiskusikan, serta digeneralisasikan. Pada pihak lain, nilai juga memiliki
dimensi emosional. Nilai tidak hanya sesuatu yang idealis, tetapi juga
merupakan komitmen emosional yang kuat.
Nilai terdapat di dalam semua bidang kehidupan. Di
dalam bidang pergaulan ada nilai-nilai sebagai pedoman bagi seseorang untuk
bergaul, yang kita kenal sebagai nilai kesopanan. Di dalam kehidupan berekonomi
ada nilai-nilai ekonomi yang menjadi pedoman untuk berekonomi. Di dalam
pergaulan hukum ada nilai-nilai yuridis sebagai pegangan tentang apa yang adil.
Keseluruhan nilai-nilai tersebut membentuk suatu sistem nilai, yang susunannya
bagi setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang menempatkan nilai ekonomi pada
tempat yang paling tinggi, dan semua yang lain ditempatkan menurut urutan
kepentingannya di bawah ekonomi.
Nilai yuridis misalnya, jika ditempatkan di bawah
nilai ekonomi berarti keadilan ditentukan oleh ekonomi. Kalau nilai religi
ditempatkan di bawahnya maka ibadah berorientasi pada keadilan dan ekonomi.
Sebaliknya, kalau nilai religi ditempatkan paling tinggi, berarti nilai lain
seperti ekonomi, yuridis, etik, estetika, sosial, terarah pada religi. Setiap
orang mempunyai susunan tertentu tentang nilai yang paling penting, agak
penting, kurang penting, dan sebagainya. yang dikatakan materialistis adalah
orang memutlakkan nilai ekonomi. Susunan nilai itu bisa berubah-ubah. Bagi
seseorang, apa yang dianggapnya penting hari ini, besok dianggapnya kurang
penting. Karena sifatnya yang demikian, maka sistem nilai itu bisa dibina di
dalam diri seseorang.
Sistem nilai sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
merupakan pedoman untuk mengarahkan perilaku seseorang dalam bertindak.
Seseorang memutuskan untuk berbuat sesuatu
pada saat tertentu hanya apabila perbuatan tersebut dianggap baik pada
saat itu.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu
terjadi melalui pembentukan sikap. Menurut Thorstone (1975), sikap atau attitude
ialah a degre of positive or negative associated psychological object
atau tingkat kencenderungan atau pernyataan gejala senang atau tidak senang
dari seseorang terhadap suatu objek. Jika seseorang berhadapan dengan suatu
objek tertentu, maka responsnya diekspresikan dalam bentuk sangat senang, agak
senang, tidak acuh, kurang senang, atau tidak senang. Kalau objek itu adalah
musik rock, maka ekspresi itu tampak dalam bentuk gerakan kakinya yang
dihentakkan secara spontan (sangat senang), atau sebaliknya ia tutup telinga
(tidak senang).
Sikap yang kelihatan-senang atau tidak senang- itu
berada dalam kawasan afektif, tidak bisa dipisahkan dari kognitif dan psikomotorik.
Penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak
terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang
bersangkutan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
- Nilai tak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
- Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik
- Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina
- Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap-tahap tertentu.
C. Beberapa Dasar Pemikiran
Komitmen seseorang terhadap nilai
dapat dinyatakan antara lain pada kepatuhannya terhadap suatu yang dianggap
baik. Seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dianggapnya baik dengan
bermacam-macam alasan. Beberapa diantaranya dapat dikemukakan di bawah ini:
1.
Wright mengemukakan empat
faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat sesuatu, yaitu:
a.
Hedonitas tanpa moral.
Pertimbangan untuk melakukan sesuatu didasarkan pada kegunaan bagi diri
sendiri. Seseorang melakukan sesuatu kalau hal itu berguna bagi dirinya
sendiri, dan tidak mau melakukannya jika tidak ada manfaatnya bagi dirinya
sendiri.
b.
Rasional. Pertimbangan untuk
melakukan sesuatu didasarkan pada logika seseorang. Kalau sesuatu itu tidak
masuk akalnya, maka ia tidak akan melakukannya.
c.
Tingkat kesadaran. Seseorang
berbuat atau tidak berbuat sesuatu tergantung pada tingkat kesadarannya
d.
Konfirmitas. Seseorang berbuat
sesuatu hanya untuk menyesuaikan diri dengan pihak lain, dan tidak muncul dari
kesadaran sendiri.
2.
Douglas Graham melihat empat
faktor yang merupakan dasar kepatuhan terhadap nilai tertentu.
a.
Normativist. Biasanya kepatuhan
pada norma-norma hukum. Kepatuhan terhadap hukum ini terdapat dalam tiga
bentuk, yaitu; 1) kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri, 2) kepatuhan
pada proses tanpa mempedulikan normanya sendiri, dan 3) kepatuhan pada hasilnya
atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b.
Integralist, yaitu kepatuhan
yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c.
Fenomenalist, yaitu kepatuhan
berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d.
Hedonist, yaitu kepatuhan
berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari empat faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu:
a.
Otoritarian. Suatu kepatuhan
tanpa reserve, kepatuhan yang “ikut-ikutan” atau sering disebut “bebekisme”.
b.
Konformist. Kepatuhan tipe ini
mempunyai 3 bentuk; 1) konformist yang directed, yaitu penyesuaian diri
terhadap masyarakat atau orang lain; 2) konformist hedonist, kepatuhan yang
berorientasi pada “untung-ruginya” bagi diri sendiri; dan 3) konformist
integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan
kepentingan masyarakat.
c.
Compulsive deviant. Kepatuhan
yang tidak konsisten atau apa yang sering disebut “plinplan”
d.
Hedonik psikopatik. Kepatuhan
pada kenyataan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain
e.
Supra moralist. Kepatuhan
karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
3.
Fraenkel menyebut 6 faktor yang
mempengaruhi komitmen terhadap sesuatu nilai, yaitu:
a.
Immediacy (hal yang mendesak).
Orang melakukan sesuatu pada saat tertentu karena kepentingan yang mendesak.
Pola nilai yang dianutnya sebenarnya tidak sesuai dengan perilaku sesaat itu.
Seseorang terpaksa mencuri pada saat tertentu, sebab kalau tidak demikian ia
akan mati kelaparan. Mencuri itu sendiri sebenarnya tidak mau dilakukan kecuali
dalam keadaan terpaksa.
b.
Austerity. Berprinsip untuk
memuaskan keinginannya, menghabiskan apa adanya. Biasanya terjadi dalam bidang
seks, ekonomi, sosial, politik.
c.
Authenticty. Rasa kesadaran
dikalahkan oleh kuasa atau wewenang orang lain.
d.
Keterbukaan. Keterbukaan yang
begitu luas sehingga sukar dicari kepastian, seperti dalam dunia seni dan ilmu
pengetahuan
e.
Otonomi, emansipasi, dan
tanggung jawab sering mengalahkan kepatuhan dan kesadaran diri sendiri
f.
Reverence, hal-hal yang
menyangkut kesenangan, cinta, kepercayaan yang mengalahkan kesadaran atau
kepatuhan seseorang.
D. Teori Perkembangan Moral
Nilai
atau moral perkembangan di dalam diri seseorang melalui proses yang cukup lama.
Anak berusia tiga tahun belum tahu apa yang dikatakan sopan dan tidak sopan,
atau apa yang adil dan tidak adil. Oleh karena itu, tidak dapat dituntut
darinya untuk bersikap sopan dan bertindak adil. Nilai-nilai seperti itu tidak berada
di dalam dirinya, tetapi diluar dirinya. Tingkat perkembangan dirinya
mengakibatkan bahwa tidak mungkin pada usia seperti itu memasukkan nilai-nilai
itu di dalam dirinya. Ia butuh waktu untuk bisa memiliki nilai seperti itu.
Tahap-tahap
pemilikan nilai itu bagi diri seseorang menurut Norma Y. Bull terjadi dalam
empat tahap seperti digambarkan pada bahan di bawah:
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|||||||

Anomous Hetero-nomous
Socio-nomous Auto-nomous
Perkembangan
itu dimulai dari tidak kenal nilai (anomous), kemudian mengenal nilai itu
diluar dirinya (hetero-nomous), kemudian mengenal nilai dalam lingkungan sosial
(social-nomous) dan terakhir memiliki sendiri nilai bagi diri sendiri
(auto-nomous). Dengan kata lain, nilai itu berada diluar diri yang bersangkutan
kemudian masuk dalam lingkungan sosialnya, baru masuk di dalam dirinya.
Proses
perkembangan ini menurut Kohlberg terjadi dalam enam tahapan yang dibagi dalam
tiga tingkatan sebagai berikut:
Tingkatan Prakonvensional
Tahap
1 : Orientasi hukuman dan
kepatuhan
Tahap
2 : Orientasi relativis
instrumental
Tingkat Konvensional
Tahap
3 : Orientasi masuk ke kelompok
“anak baik” dan “anak manis”
Tahap
4 : Orientasi hukum dan
ketertiban
Tingkat Pascakonvensional otonom
atau berprinsip
Tahap
5 : Orientasi kontrak sosial
legalistis
Tahap
6 : Orientasi asas etika
universal
Tingkatan
pertama disebut prakonvensional karena pada taha-tahap ini anak belum mempunyai
orientasi sosial. Ia belum memahamiapa yang disebut sopan, adil, etis, dan
sebagainya. tingkat ini terdiri atas dua tahap, masing-masing dengan orientasi
yang berbeda. Tahap pertama disebut orientasi hukum dan kepatuhan. Pada tahap
ini anak patuh kepada suatu perintah bukan karena kesadarannya, melainkan pada
hakikat jika perintah itu dilanggar atau dilakukan.
Seorang
ibu yang pergi belanja ke pasar berkata kepada anaknya “Nak, jangan keluar dari
rumah selama ibu pergi. Kalau kamu keluar, maka ibu tidak akan memberi kamu
makan siang nanti.” Anak mematuhi perintah itu, semata-mata karena takut tidak
diberi makan siang. Kepatuhannya berorientasi pada akibat atau ganjaran dari
ketidakpatuhan itu.
Orientasi
itu akan berubah pada tahap kedua. Tahap ini disebut orientasi relativis
instrumental. Disini instrumental itu berupa perbuatan. Kepatuhan didasarkan pada
perbuatan timbal balik. “Garuk punggungkyu, kugaruk punggungmu.” Artinya ialah
melakukan suatu perbuatan jika perbuatan serupa diperbuat juga terhadapnya.
Pada
tingkat kedua orientasi anak mulai berkembang. Ia mulai melihat dirinya sebagai
bagian dari kelompok sosialnya. Karena itu tingkat ini disebut tingkat
konvensional. Tingkat ini dilalui dalam dua tahap, yaitu tahap ketiga dan tahap
keempat. Tahap ketiga ini disebut orientasi “anak manis”. Ia sudah melihat
kelompok sosial yang kita sebut kelompok “anak manis”, atau “anak teladan”, dan
ingin masuk ke dalam kelompok itu. Untuk itu ia berusaha mengarahkan
perilakunya ke dalam kelompok tersebut.
Pada
tahap keempat, atau tahap kedua dalam tingkat ini, orientasinya berubah menjadi
orientasi hukum dan ketertiban. Ia melihat bahwa aturan-aturan yang ada dalam
masyarakat atau kelompok sosial dalam masyarakat itu merupakan sesuatu yang
baik untuk dilakukan dalam kehidupannya. Tetapi makna dari peraturan itu
sendiri belum dipahaminya. Hal ini dapat kita ketahui jika anak bermain dalam
kelompoknya. Ia memeprhatikan benar aturan-aturan dalam permainan itu. Kemudian
ia berusaha untuk menaati peraturan itu, tidak menjadi soal apakah ia
memenangkan permainan atau tidak. Temannya yang melanggar aturan itu akan disingkirkan
dari kelompoknya.
Dalam
tingkat ketiga yang disebut tingkat pascakonvensional, nilai-nilai sudah mulai
bergerak masuk ke dalam dirinya sendiri melalui dua tahap, yaitu tahap kelima
dan tahap keenam. Tahap kelima berorientasi pada kontrak sosial legalitas,
sehingga kepatuhan terhadap aturan-aturan adalah kepatuhan atas dasar kesadaran
karena memahami fungsinya dalam hubungan sosial. Dan pada tahap terakhir,
kepatuhan pada aturan didasarkan pada kesadaran yang bersifat etis universal.
Pada tahap ini terjadi internalisasi dan karakterisasi nilai.
Ciri-ciri
dari perkembangan ini menurut Kohlberg sebagai berikut:
1.
Perkembangan tahap selalu sama.
Seseorang mesti melangkah melalui tahap-tahap itu secara berurutan. Tidak dapat
melalui tahap tertentu tanpa melalui tahap sebelumnya.
2.
Dalam perkembangan tahap,
subjek tidak dapat memahami penalaran moral tahap di atasnya lebih dari satu
tahap.
3.
Dalam perkembangan tahap,
subjek secara kognitif tertarik pada cara berpikir satu tahap di atas
tahapannya sendiri
4.
Dalam perkembangan tahap,
peralihan dari tahap ketahap terjadi bilda diciptakan disequilibrium kognitif,
yaitu bila pandangan kognitif seseorang tidak mampu lagi menyelesaikan suatu
dilema moral yang dihadapinya.
E. Taksonomi Domain Afektif
Dilihat dari strategi belajar-mengajar,
proses pembinaan nilai dalam kawasan afektif (Krathwahl) melalui lima tahapan
secara hirarkis, sebagai berikut:
Tingkat
|
Unsur
|
1.
Menerima (receiving)
|
Kesadaran (awareness)
Kemauan menerima (willingnes
to receive)
Pemusatan perhatian (controlled/selected
attention)
|
2.
Menanggapi (responding)
|
Kesediaan menanggapi
(acquiescence in responding)
Kemauan menanggapi
(willingness to respons)
Kepuasan dalam menanggapi
(satisfaction in response
|
3.
Penilaian (valuing)
|
Penerimaan suatu nilai
(acceptance of value)
Pemilihan suatu nilai
(preference for value)
Keterikatan (commitment)
|
4.
Mengorganisasi (organization)
|
Konsep kita terhadap nilai
(conseptualization of value)
Pola mengorganisasi ke dalam
sistem nilai (organization of value system)
|
5.
Mempribadikan nilai
Characterization (value complex)
|
Menggeneralisasikan
(generalized set)
Mempribadikan
(characterization)
|
Berkembangnya suatu minat atau
penghargaan terhadap suatu nilai tertentu memerlukan beberapa tahap pada domain
afektif, sebagai berikut:
- Minat : dimulai dari 1.1. sampai pada 3.2.
- Penghargaan : mulai dari 1.3. sampai pada 3.2.
- Sikap : mulai dari 2.3. sampai pada 4.2.
- Penyesuaian diri: mulai dari 2.3. sampai pada 5.2.
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, afektif tidak bisa terlepas dari domain kognitif
dan psikomotorik. Hal ini tampak jelas pada teori perkembangan moral dari
Kohlberg di atas. Kepatuhan selalu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
rasional yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.
F. Implikasi Dalam Strategi Belajar-Mengajar
1.
Tujuan Pengajaran
Kita mengenal dua mcam tujuan pengajaran, yaitu tujuan instruksional
(instructional effect) dan tujuan iringan (nutrunant effect). Tujuan
instruksional dinyatakan secara eksplisit dalam GBPP, dan dicapai oleh siswa
sesuadah mengikuti seluruh proses belajar-mengajar di kelas. Dengan kata lain,
tujuan ini merupakan akibat dari proses instruksional yang telah dirancang oleh
guru (desain instruksional) sebelumnya. Apakah tujuan instruksional suatu
program pengajaran diarahkan pada efektif atau tidak, tergantung misi kurikulum
pada GBPP.
Pada umumnya mata pelajaran dasar umum seperti Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia banyak memuat
tujuan pada domain afektif. Menghargai pahlawan nasional, menghargai keyakinan
orang lain, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, adalah contoh-contoh tujuan
instruksional yang bermuara pada afektif.
Berbeda dengan tujuan iringan, yang hanya dapat dimiliki oleh siswa
jika terlibat di dalam proses belajar-mengajar. Ia mencapai tujuan ini di dalam
dan bukan pada akhir proses belajar mengajar. Tujuan iringan juga tidak
ditemukan secara eksplisit di dalam GBPP, tetapi bergantung kepada guru sendiri
terutama pada strategi belajar-mengajar yang dirancang oleh guru yang
bersangkutan. Tujuan iringan seperti menghargai pendapat orang lain, bersikap
kritis, bangga pada hasil pekerjaan sendiri, dan lain-lain adalah tujuan yang
berada dalam kawasan afektif. Tujuan-tujuan seperti ini dapat diperoleh melalui
penampilan guru di dalam dan di luar kelas, situasi yang diciptakan oleh guru
dalam mengelola pelajaran, dan penampilan pribadi guru yang bersangkutan. Sikap
disiplin dari seorang guru akan menular kepada siswa.
2.
Stimulus
Stimulus adalah bahan yang digunakan oleh guru ketika mengawali
pelajarannya di kelas sebelum masuk ke dalam pokok bahasan. Bahan ini
menghubungkan apa yang telah dimiliki oleh siswa dengan apa yang akan
dipelajari sekaligus untuk mengaktualisasikan bahan dan membangkitkan minat
keingintahuan. Bahan untuk ini tidak diambil dari buku pelajaran, tetapi dari
lingkungan siswa sendiri. Bahan ini bersifat conflict isues, dan bisa diambil
dari realitas sosial atau cerita, atau berbentuk permainan (game) atau
gambar-gambar atau kliping.
3.
Evaluasi
Evaluasi nilai
memerlukan suatu cata tersendiri, yaitu dengan menggunakan skala nilai atau
observasi (non-tes)
Contoh :
a.
Nilai : cinta
Bisa diukur menurut rangking, dan menempatkan jawaban siswa pada
rangking yang sesuai.
Alasan
|
Rangking
|
Cantik/ganteng
|
1
|
Keturunan
|
2
|
Keterbukaan
|
3
|
Keramahan
|
4
|
Pendidikan
|
5
|
Keimanan
|
6
|
b.
Topik : Penghijauan
Seberapa jauh
keinginan Anda untuk:
No
|
Isu
|
Rangking
|
1
|
Memelihara
tanaman dalam pot
|
1
2 3 4 5
|
2
|
Menanam dan
memelihara tanaman di pekarangan
|
|
3
|
Tidak
mengganggu tanaman di taman umum
|
|
4
|
Tidak melukai
pohon di tempat rekreasi umum
|
|
5
|
Tidak menebang
pohon di tempat perkemahan
|
|
6
|
Ikut serta
dalam gerakan penghijauan
|
|
7
|
Ikut serta
berusaha memelihara kelestarian lingkungan/alam
|
|
G. Interpenetrasi Domain Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik
Pendidikan yang dirancang
berdasarkan kompetensi mempunyai dimensi-dimensi yang saling berhubungan yang
menampilkan diri dalam praktik kehidupan sebagai suatu perilaku yang wajr,
normal, dan tidak dibuat-buat. Jadi yang terjadi adalah suatu proses yang
menyatukan pengetahuan dan nilai sedemikian rupa, sehingga tampak ekspresinya
dalam perilaku sebagai pola kelakuan yang standar. Inilah yang dinamakan
belajar secara tuntas. Apa yang terjadi, bukanlah hanya mampu menghubungkan,
bukan juga hanya integrasi melainkan interpenetrasi dari kognitif, afektif, dan
psikomotor (perfoemance). Mudah-mudahan Anda dapat merasakan powerful proses
ini. Sebagai gambaran output yang utuh dari proses aktualisasi nilai (valuing
process) dimaksud, terdapat dalam ekspresi ini: “Si Polan Berpendirian bahwa
karyanya merupakan bagian integral dari ibadahnya.”
Dalam sejarah/pengalaman praktik pendidikan nilai,
tercatat paling sedikit tiga metode utama (Toffler, 1974: 259-263).
Pertama: moralizing-sangat mirip dengan indoktrinasi.
Mengapa tidak berhasil? Perhatikan anak/pemuda masa kini. Ia “dibombardir” oleh
perangkat nilai yang berbeda-beda dan seringkali saling bertentangan: perangkat
nilai yang berasal dari orang tua (lingkungan keluarga) versus sekolah:
nasional vs etnis; agama vs sekuler. Biasanya, ia mengalami kesulitan untuk
memilih berbagai alternatif yang ada –jadi – menimbulkan kebingungan.
Nilai-nilai “kejujuran”, “spiritual”, “patriotik” memang sangat luhur, tetapi
belum tentu menyelesaikan dilema yang spesifik dihadai oleh orang muda, misalnya,
……mengapa warga negara yang patriotik harus mati dalam perang Vietnam atau
Bosnia; mengapa buruh yang memperjuangkan hak rekan sejawatnya harus dibunuh
atau yang religius dan patriotik harus menyelesaikan persengketaan dengan teror
dan kekerasan? Pada aras yang lebih sederhana, mengapa pada waktu lampu lalu
lintas menjadi merah justru sopir bisa menancap gas untuk melewatinya. Asumsi
bahwa nilai yang lama (dahulu) dapat diturunkan/diajarkan oleh orang rua, guru,
maupun pemimpin dengan upaya “memoralkan” (moralizing) orang muda, kini tidak
mempan.
Kedua, pendekatan laizzez fair (biasanya terdapat pada
masyarakat industrial). Kesadaran bahwa “moralizing” ditolak oleh kebanyakan
orang muda membuat sebagian pendidikan mengembangkan approach “laissez fair”……”
tampaknya tidak ada nilai yang diajarkan dapat menyelesaikan dilema yang
disebabkan konflik nilai pada orang muda;…….tampaknya ada kecenderungan bahwa
setiap individu harus mengembangkan nilainya sendiri jikalau nilai-nilai
tersebut akan berguna baginya;……karena itu……saya akan memberi kebebasan bagi
orang muda untuk………mencari sendiri………menentukan sendiri, dan akhirnya menemukan
sendiri nilai yang terbaik bagi diri mereka. Walaupun tampaknya pendekatan ini
menarik, sebenarnya dilema pada orang muda tidak terselesaikan, karena mereka
tetap saja “dibombardir” oleh nilai saling berbeda dan bertentangan itu. Dari
situasi itu, ia masih harus memutuskan mana yang baik dan buruk dari semua yang
dikatakan kepadanya. Apabila, secara hakiki, orang muda sama seperti orang
lain, yakni membutuhkan pertolongan orang lain untuk menyelesaikan berbagai
dilema hidupnya.
Ketiga, adalah modelling approach. Karena tidak
menyetujui moralizing maupun laizzez fair, pendidik lain memilih modelling
sebagai cara untuk mentransmit nilai kepada orang muda. Sebagai orang
dewasa…….”saya akan mendemonstrasikan nilai yang saya hayati sebagai
standar…….dan dengan demikian menjadi teladan atau model bagi orang muda.
Kembali dilema pada orang muda tidak terselesaikan
karena adanya model tadi. Orang muda diekspos pada berbagai model dalam
masyarakat: ada model Hollywood, ada raja Rock’n roll; dangdut, seksi, dan
sebagainya. dari sisi positif model seolah-olah sumber alternatif yang pasti
kepada orang muda, tetapi kesukaran yang mempengaruhi pikiran dan pribadi yang
masih “luntur” dan muda adalah hipokrasi dan ketidak-konsistenan antara apa
yang dimodelkan dan dilakukan. Dalam banyak hal, pendidik sendiri menghadapi
dilema apabila ini menjadi model yang konsisten terus-menerus; sangat sukar
mempertahankan netralitas dan objektivitas, apalagi dalam situasi standing
profesional yang secara finansial sangat lemah.
H.
Duska, Ronald & Whelan, Marie. 1982.
Perkembangan Moral: Perkenalan dengan Piaget-Kohlberg. Penerbit Yayasan
Kanisius. Yogyakarta.
Fraenkel, J.R. 1980, Helping Student Think and
Value: Strategies for Teaching the Social Sciences. Prentice Hall. Inc. New
Jersey.
Toisuta, Willi, 1994, Interpenetrasi Domain
Kognitif, Afektif, Psikomotorik. Ceramah pada Pendidikan Kader GMKI di Salatiga.
Toffler, A.ed. 1974. Learning for Tomorrow: The
Role of Future in Education. Vintage Books. USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar