BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan tentang hak kodrati atau hak asasi manusia memang
sudah kaprah di kalangan filsuf dan ahli
hukum, namun baru pada beberapa dekade belakangan inilah gagasan mengenai HAM
menjadi bagian dari kesalahan masyarakat luas di sebagian besar kawasan dunia. Pelanggaran terhadap HAM
kini acap kali diakui serta dilaporkan dengan sendirinya, dan masyarakat mulai
memiliki sejumlah kategori pertimbangan dan penilaian baru.
Pelanggaran terhadap HAM semakin meresahkan masyarakat
karena saat ini anak-anak juga seringkali menjadi korban kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dapat merusak masa depan
anak-anak sebagai pemilik masa depan bangsa.
Kekerasan terhadap anak dapat berupa kekerasan fisik
maupun psikis.
A. Latar Belakang
Di negara tetangga kita, Malaysia
sejak 1985 rumah sakit Kuala Lumpur mendata kasus-kasus child abouse dan
terbukti terdapat ratusan kasus kekerasan fisik, seksual hingga penelantaran.
Setiap tahun selalu ada anak yang mati akibat kekerasan orang dewasa, termasuk
oleh keluarganya sendiri. Puncaknya adalah kematian Balasundram pada tahun 1989
yang amat mengguncang Malaysia. Dua tahun kemudian Malaysia mengesahkan
Undang-undang Perlindungan Anak yang antara lain mewajibkan setiap dokter untuk
melaporkan kepada polisi jika ditemukan kasus child abouse yang
diketahui.
Di Philipina tahun 1992 Presiden
Corazon Aquino menandatangani Undang-undang No. 7610 tentang Perlindungan
Khusus untuk anak-anak dari perlakuan salah, eksploitasi dan diskriminasi.
Pencetusnya antara lain adalah skandal kematian bocah penjaja seks berusia 11
tahun Rosario Baluyot tahun 1987 dan terbongkarnya jaringan pedofilia
internasional di kota Pagsanjan tahun 1989.
Di Indonesia RUU Perlindungan Anak
sudah menempati rangkin 5 untuk dibahas di DPR. Semoga bangsa kita tak harus
menunggu lebih banyak lagi anak-anak yang jadi korban, seperti Arie Hanggara
(1984), Tata (1998), Rani (1999) atau Aprihartini (5 tahun) yang dianiaya ayah
tiri di Tangerang (2002).
B. Maksud dan Tujuan
Ada beberapa maksud dan tujuan daripada
penyusunan makalah ini yang berkaitan dengan anak sebagai pemilik masa depan
bangsa diantaranya:
1.
Menjabarkan berbagai tindakan
kekerasan terhadap anak yang sesungguhnya dalam hal ini dipandang dari semua
aspek lingkungan terutama keluarga yang merupakan ruang awal pertumbuhan jiwa
anak.
2.
Pelaksanaan pencegahan
kekerasan terhadap anak dalam rangka menumbuhkan kepribadian anak yang mantap
3.
Peran aktif yang dapat
diberikan oleh semua lapisan masyarakat terutama keluarga dalam rangka
mewujudkan pelaksanaan anti kekerasan terhadap anak.
Maksud
dan tujuan yang tersebut di atas merupakan tujuan yang dinilai secara garis
besar (global) dan tentunya masih dapat dijabarkan lagi dalam tujuan yang lebih
meluas.
C. Batasan Masalah
Agar di
dalam penyampaiannya, makalah ini nantinya dapat mengarah kepada tema ataupun
judul yang telah ditentukan, maka dalam hal ini saya sebagai penyusun
memberikan batasan-batasan masalah yang disusun dalam bentuk susunan pertanyaan
yang berkaitan dengan tema ataupun judul yang telah disebutkan. Adapun
batasan-batasan tersebut antara lain:
1.
Apa yang menjadi wujud
permasalahan kekerasan pada anak?
2.
Anak sebagai pemilik masa depan
bangsa, seringkali dididik oleh orang dewasa dengan terlampau keras sehingga
menimbulkan Child Abuse yang akibatnya dapat mengguncang jiwa anak.
Bagaimana bentuk dan jenis Child Abuse tersebut?
3.
Bagaimana campur tangan
pemerintah dalam melindungi hak anak?
4.
Peranan keluarga akan sangat
mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Bagaimana sikap yang seharusnya dimiliki
oleh orang tua untuk mewujudkan rasa sayangnya terhadap anak?
BAB II
PERMASALAHAN KEKERASAN PADA
ANAK
Kekerasan pada anak atau lebih dikenal child abuse
secara garis besar berupa Physical Abuse, Nutritional Abuse, Sexual Abuse,
Drug Abuse, Emotional Abuse dan Medical care neglecet. Dari 6 jenis
tindak kekerasan itu yang paling sering ditemui dan mudah dipantau adalah Physical
Abuse, yaitu meliputi 70% dari Child Abuse.
Kekerasan pada anak yang tentu saja melanggar hak-hak
anak dapat terjadi dimana saja, di sekolah, di jalan, di lingkungan kerja
ataupun dalam rumah tangga atau lingkungan keluarga. di sekolah Bapak atau Ibu
guru tak jarang menghukum siswa-siswi yang dianggap melanggar dengan hukuman
yang tidak mendidik hanya memuaskan emosi sang guru berupa balas dendam. Murid
datang terlambat, atau tidak mengerjakan PR atau bajunya tidak berseragam, atau
bikin onar di sekolah dan sebagainya dihukum yang tidak sesuai untuk anak yang
sedang tumbuh dan masa belajar. Dipukul kepalanya dengan benda keras sampai
berdarah, disuruh lari mengelilingi lapangan hingga pingsan atau hal-hal lain
yang tidak manusiawi apalagi bernilai pendidikan.
Dirumah, orang tua, kakak atau famili yang lebih dewasa
bisa melakukan kekerasan terhadap anak. Memberi tugas anak yang terlampau
berat, mengancam tidak memberi makan atau jatah makan dikurangi, melarang
bersekolah, membuat malu dihadapan teman-teman atau memukuli hingga berdarah
anak-anak yang membuat kesalahan. Rumah semestinya menjadi tempat berlindung
yang aman, ternyata bisa menjadi penjara atau neraka bagi anak-anak. Hak-hak
dilanggar dan anak akan terganggu proses eprtumbuhan fisik dan perkembangan
jiwanya.
Dampak dari eprlakuan secara ekras fisik terhadap anak
biasanya berupa luka memar, luka simtris diwajah, punggung, pantat dan tungkai.
Luka memar pada penganiayaan anak sering membentuk gambaran benda atau alat
yang dipakai untuk menganiayanya, misalnya telapak tangan, gesper sabuk, kabel,
selang atau tali. Dan pendarahan pada retina mata balita kemungkinan akibat
diguncang-guncang. Penganiayaan pada anak yang bersifat kronis dan berlangsung
sejak usia dini berhubungan erat dengan timbulnya gejala disosiasi termasuk
amnesia terhadap ingatan-ingatan yang berkaitan dengan penganiayaan. Pengalaman
traumatik itu akan terekam terus dalam ingatan dan anak tumbuh dengan jiwa yang
luka.
Penyebab tindak kekerasan pada anak:
1.
Orang tua yang dulunya
dibesarkan dengan kekerasan cenderung meneruskan pendidikan tersebut pada
anak-anaknya
2.
Kehidupan yang penuh stress dan
kemiskinan,
3.
Iolasi sosial, lingkungan yang
mengalami krises ekonomi, tidak bekerja menjadikan keluarga rentan terhadap
perilaku child absue.
4.
Gangguan mental pada orang tua,
psikotik atau gila
5.
Orang tua yang agresif dan
implsif
6.
Orang tua muda
7.
Gangguan dalam perkawinan
seperti perceraian dan menjadi orang tua tunggal (single parent)
8.
Konflik dalam keluarga dan
meminta korban anak-anak
9.
Kecanduan obat atau alcohol
10.
Pendidikan rendah dan wawasan
sempit
Di luar negeri, pengadilan bisa memberikan ancaman
terhadap orang tua yang melakukan tindak kekerasan pada anak atau benar-benar
memindahkan/mengambil anak dari orang tuanya untuk dipindahkan pada rumah
perlindungan pengasuhan (foster home). Tetapi belakangan ini penanganan
kasus-kasus penganiayaan anak adalah bekerjasama dengan unit keluarga untuk
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat. Bantuan diberikan dalam bentuk
kunjungan rumah dari perawat, pengatur rumah tangga, konsultan keluarga dalam
bidang padiatri, psikiatri, pekerja sosial dan hukum. Dari seminar tentang child
abuse di Yogyakarta tahun 1999, merekomendasikan upaya penanganan kekerasan
terhadap anak perlu dilakukan kerjasama berbagai pihak dengan melibatkan;
Departemen P & K, Departemen Sosial, Departemen Agama, Departemen
Kesehatan, Perguruan Tinggi Kepolisian, Media Massa, sekolah-sekolah, orang tua
dan LSM (termasuk LPA), dan perans erta masyarakat agar berhasil dengan baik.
BAB III
JENIS DAN BENTUK CHILD ABUSE
Menurut Ibu dr. Lestari Basuki, mantan pengurus LPA
Jatim dan Psikiater anak RS. Dr. Soetomo
Surabaya ada 6 (enam) jenis Child Abuse yaitu:
1.
Physical abuse (kekerasan terhadap fisik anak)
2.
Nutrional abuse (kekerasan yang berkatan dengan kebutuhan makanan)
3.
Sexual abuse (kekerasan secara sexual: pencabulan, perkosaan)
4.
Drug abuse (kekerasan yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat)
5.
Emosional abuse (kekerasan secara emosi/psikis: dibentak, dimarahi)
6.
Medical care abuse (kekerasan yang berkaitan dengan perawatan kesehatan misalnya sakit
tidak diobati atau ala kadarnya/tidak optimal)
Dari keenam jenis itu yang terbanyak terjadi adalah physical
abuse yakni meliputi 70%. Dari seluruh kasus physical abuse, menurut
Ibu Lestari diperkirakan 5% korban sampai terbunuh dan 30% korban mengalami
cidera serius.
Adapun bentuk-bentuk physical abuse, menurut
hasil penelitian Bapak Heddy Sri Ahimsa-Putra di 6 (enam) kota yaitu: Medan,
Palembang, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kampung ditemukan 37 bentuk
kekerasan fisik. Kekerasan fisik terhadap anak itu meliputi bentuk-bentuk
berikut ini:
1.
Dicekoki
2.
Dijewer
3.
Dijejali
4.
Dijambak
5.
Disentil
6.
Dijitak
7.
Digigit
8.
Dicekik
9.
Direndam
10.
Disiram
11.
Diikat
12.
Didorong
|
13.
Dicubit
14.
Dilempar
15.
Diseret
16.
Ditempeleng
17.
Dipukul
18.
Disabet
19.
Digebuk
20.
Ditendang
21.
Diinjak
22.
Dibanting
23.
Dibenturkan
24.
Disilet
|
25.
Disuruh jalan dengan lutur
26.
Ditusuk
27.
Dibacok
28.
Dipanah
29.
Disudut
30.
Disetrika
31.
Disetrum
32.
Ditembak
33.
Berkelahi
34.
Dikeroyok
35.
Disuruh Push Up
36.
Disuruh Lari
37.
Disuruh squash jump
|
Begitu banyak bentuk-bentuk kekerasan yang pernah
menimpa anak-anak, dan diperkirakan masih ada bentuk-bentuk lain lagi.
misalnya: menurut pengakuan, pengalaman atau pengamatan teman dan di media
massa ada bentuk-bentuk abuse lain disamping yang telah disebutkan di atas,
misalnya:
1.
Disuruh berdiri, baik dengan
dua kaki atau satu kaki (kaki lainnya diangkat).
2.
Dijemur di terik matahari
dengan melepas baju
3.
Disuruh makan garam / lombok /
asam sebanyaknya
4.
Dikasih sambal mulut dan atau
hidungnya
5.
Digantung dengan posisi kaki di
atas kepala di bawah
6.
Dan sebagainya
Semoga bentuk-bentuk kekerasan pada anak kian berkurang
hingga lenyap di atas bumi. Anak-anak harus dikasih sayangi. Anak sebagai buah
hati, pemilik masa depan dan amanah dari Tuhan harus terlindung dari kekerasan
dan mendapatkan hak-haknya.
BAB IV
KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ANAK
Pemerintah
dinilai kurang serius dalam melakukan perlindungan terhadap anak-anak, baik
menyangkut kekerasan terhadap anak maupun tentang anak-anak yang menjadi korban
pelecehan seksual. Akibatnya, anak-anak yang menjadi korban harus menyelesaikan
persoalan sendiri tanpa kepedulian pihak pemerintah.
Penilaian itu
dikemukakan Ketua Badan Pelaksana Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Tengah
Tgk Usda el Ahmadi, didampingi Siti Aminah SH, Selasa (5/6) lalu, di Semarang.
Pernyataan ini berkaitan dengan evaluasi kepedulian pemerintah terhadap hak
anak dalam memperingati Hari Anak Internasional yang jatuh pada 1 Juni lalu
“LPA Jateng
mendesak pemerintah segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU)
Perlindungan Anak sehingga kasus-kasus yang menyangkut hak-hak anak dapat cepat
tertangani dengan baik,” ujar Usda el Ahmadi.
Menurut dia,
di Jawa Tengah sekarang masih terdapat 124 anak yang terpisah dari orang tuanya
yang berasal dari daerah konflik, seperti Timor Timur, Aceh, Sampit, dan Sambas.
Sudah 3.015 anak korban Sampit telah diberangkatkan ke Jawa Timur, dengan
harapan kemungkinan mereka bisa bertemu dengan sanak saudaranya.
Masalah Hukum
Dijelaskan,
pada periode Januari-Maret 2001 terdapat 67 anak yang terkait dengan masalah
hukum. Kini anak-anak itu menjalani pemeriksaan akibat perkelahian (sebanyak
sembilan anak), pencurian (28 anak), terlibat narkotika dan obat-obat berbahaya
(narkoba) serta psikotropika (sembilan anak), pelaku kekerasan seksual (16
anak), terlibat pembunuhan (satu anak), dan terlibat aksi pemerasan (dua anak).
Khusus tentang
anak-anak yang menjadi korban seksual, antara lain tercatat, korban anak usia
11-15 tahun sebanyak 61 anak; usia 0-5 tahun sembilan anak; usia 5-10 tahun
delapan anak; serta korban usia 16-18 tahun sebanyak 18 anak. Pelaku kekerasan
seksual terhadap anak-anak ini adalah tetangga (28 kasus), teman sendiri (12
kasus), orang tak dikenal (5 kasus), perzinahan dalam lingkungan keluarga atau incest
(13 kasus), serta guru, dukun, dan majikan.
Pada periode
yang sama, jumlah anak yang mendapatkan kekerasan fisik tercatat sebanyak 25
orang. Yang terkena penganiayaan 11 anak, korban pembunuhan 3 anak, dan dibunuh
sewaktu lahir 11 anak (bayi)
“Relasi
kekerasan fisik yang menimpa anak-anak itu kebanyakan dilakukan oleh ibu
kandungnya, teman, dan orang yang belum dikenal. Ibu kandung yang melakukan
kekerasan pada anak mencapai 52 persen dengan jumlah kasus 13 anak,” tambah
Usda el Ahmadi.
BAB V
PENUTUP
Dengan segala
puja dan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kasih, hanya oleh bimbingan
serta campu tangan Tuhan, kami dapat menyelesaikan Makalah. Semua usaha, doa
kami lakukan demi menyelesaikan Makalah ini. Meskipun kami telah berupaya
secara maksimal namun menyadari akan segala keterbatasan kami dalam
penyusunannya, banyak terdapat kekurangan. Tidak sedikit peran serta Dosen
Etika Sosial di dalam membantu kami untuk menyelesaikan makalah ini, sudah
barang tentu kami berharap adanya kritik dari semua pihak yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata
kami mohon maaf apabila dalam penulisan ini ada hal-hal yang sungguh tidak bisa
diterima oleh para pembaca. Namun kami percaya ada setitik dari bagian ini yang
bermanfaat bagi para pembaca. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.
A.
Kesimpulan
Ham merupakan norma yang komplex dan berprioritas tinggi, telah
ditetapkan secara lengkap akan mampu memberikan pedoman yang sangat tepat bagi
prilaku manusia.
Dari uraian yang telah kita bahas pada bab pembahasan di depan,
sebenarnya banyak yang dapat dicermati, bahwa tidak bisa dipungkiri ketika
orang tua tidak lagi memperhatikan sang anak, dapat kita pastikan bahwa anak
akan merasa terasingkan dan merasa dirinya tidak ada yang memperhatikan. Anak
tetap membutuhkan figure/sosok orang tua yang mengayomi dan memberikan kasih
sayang yang tulus. Kondisi anak tidak selamanya selalu salah. Demikian juga
orang tua tidak harus selalu dalam posisi yang benar. Semua bisa saja melakukan
kesalahan. Untuk itulah dengan melihat uraian kasus tersebut, diharapkan kita
sebenarnya adalah sama, jangan sampai kasus yang telah ada terulang lagi.
kekerasan bukanlah jalan yang baik dalam menyelesaikan masalah, namun
komunikasilah semuanya akan terjawab.
B.
Saran-saran
Kasus tindakan terhadap kekerasan pada anak (chil abuse), pada
realitanya banyak yang tidak terungkap. Beberapa penelitian mengungkapkan
tentang tindakan kekerasan seksual (pemerkosaan) dilakukan oleh orang yang
sudah dikenal. Artinya kekerasan cenderung dilakukan dilingkungan terdekat dari
korban tersebut. seringkali itu menjadi alasan orang dewasa untuk menganiaya
anak dan tetapi yang terbaik bagi anak tidak perlu dengan cara-cara kekerasan.
Anak pada posisi ini lebih pada kondisi yang tidak mengerti cara-cara dengan
nasehat dan memberi contoh yang baik mungkin akan bermanfaat dan menjadi cara
yang terbaik dalam mendidik anak. Disamping itu penegakan perundang-undangan
tentang anak masih sangat rendah dengan memandang masalah anak bukanlah masalah
yang krusial. Pelanggaran-pelanggaran terhadap kasus-kasus tindakan kekerasan
terhadap anak seringkali hanya mendapat hukuman yang ringan atau bahkan
dibebaskan. Ini membuktikan bahwa negara dalam hal ini masih melibatkan masalah
anak sebagai masalah yang besar.
Peran negara yang seharusnya melindungi anak dari tindak kekerasan
ternyata terbaikan. Paradigma baru harus disosialisasikan kepada para pejabat
dan masyarakat luas, bahwa anak bukanlah mutlak milik orang tua dan anak adalah
subyek yang memiliki jumlah hak yang harus dipenuhi. Stop kekerasan terhadap
anak mulai sekarang. Tindakan kekerasan terhadap anak dengan alasan sebagai
bentuk kasih sayang tidak dapat diterima, karena kekerasan apapun bentuknya
dapat mengakibatkan korban baik fisik maupun mental. Yang terbaik bagi anak
adalah memberikan hak anak untuk tumbuh kembang dan pemenuhan kebutuhannya
secara wajar.
Hormatilah hak-hak anak sebagaimana mestinya, agar kelak mereka
dapat menjadi generasi penerus yang
mempunyai kualitas dan pengetahuan luas dalam menghadapi zaman era globalisasi
mendatang.
HARUSKAH KEKERASAN PERLU
DILAKUKAN DALAM MENDIDIK ANAK
Disusun oleh:
Kelompok II
1.
Imade Agus Y.W. 2443005067
2.
Suliyanti 2443005068
3.
Suci Tri W. 2443005086
4.
Purwo Adi S. 2443005087
5.
Vinsenssius Edwin 2443005088
6.
Ratih W. 2443005091
7.
Tarakanita 2443005094
8.
Ahmad Satria A. 2443005100
9.
Jesika Zefanya F. 2443005101
10.
Hesty P. 2443005126
11.
Ipong Agil 2443005130
12.
Linda Wulan S. 2443005131
13.
Khairun Nisa 2443005136
14.
Desy N. 2443005139
UNIVERSITAS KATOLIK
W I D Y A
M A N D A L A
SURABAYA

KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera Dalam Tuhan
Atas kasih
karunia dan dengan penyertaan-Nya pula sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya yang kami beri judul : “HARUSKAH
KEKERASAN PERLU DILAKUKAN DALAM MENDIDIK ANAK”
Adapun maksud
dan tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas makalah
etika sosial juga untuk mendalami tentang hak asasi bagi anak dan erat
kaitannya dalam kehidupan sehari-hari.
Terwujudnya
penulisan makalah ini tidak dapat terlepas dari dukungan, bantuan serta
bimbingan oleh berbagai pihak untuk itu dengan kerendahan hati, perkenankan
kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih kepada
yang terhormat:
1.
Drs. Budi Haryono, SE.,SS.,
selaku dosen etika sosial Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
2.
Pengurus perpustakaan
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
3.
Perpustakaan Sebaya PKBI Jatim
4.
Serta semua pihak yang telah
banyak membantu baik secara material maupun spiritual
Atas
penyusunan makalah ini pada dasarnya sangat berharap masukan, saran, kritik
guna penyempurnaan dari penyusunan makalah ini.
Harapan kami,
kiranya makalah ini akan sangat berguna bagi segenap pembaca dan pengamat.
Kiranya Tuhan memberkati kami.
Surabaya,
2005
Penulis
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Maksud dan Tujuan........................................................................ 2
C. Batasan Masalah............................................................................. 2
BAB II PERMASALAHAN KEKERASAN PADA ANAK....................... 4
BAB III JENIS DAN BENTUK CHILD ABUSE........................................... 7
BAB IV KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP PERLINDUNGAN
HAK ANAK....................................................................................... 9
BAB
V PENUTUP........................................................................................... 11
A. Kesimpulan..................................................................................... 11
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar