Kamis, 21 Juni 2012

V std d


Mean (rata-rata)

Rata-rata (mean) adalah hasil penjumlahan nilai-nilai anggota sebuah kelompok (∑Xn) dibagi jumlah anggota kelompok tersebut. Ada tiga jenis rata-rata yang dikenal dalam statistik yaitu rata-rata hitung (x ̅), rata-rata ukur (Gm atau U) dan rata-rata harmonik (rh atau H). adapun kegunaan dari rata-rata di atas sebagai berikut:

rata-rata hitung: Mengukur nilai rata-rata sebenarnya dari data misalnya Rata-rata nilai mata kuliah statistika untuk siswa MTs Darul Hikmah, Rata-rata jumlah pencari kerja selama tahun 1990 sampai 2004 yang terdaftat di Disnaker Surabaya

rata-rata ukur: Mengukur tingkat perubahan ( rate of change) untuk data nilai positif misalnya Rata-rata tingkat pertambahan pinjaman setiap bulan di kantor penggadaian. Diketahui data sambungan telpon selama setahun. Berapa rata-rata pertumbuhan sambungan telpon setiap bulan.

rata-rata harmonik: Mengukur nilai rata-rata data yang memiliki nilai positif dan ada rasio. Misalnya Tiga pegawai bagian pembelian diberi tugas membeli kayu di pedalaman. Setiap pegawai mendapat uang Rp. 450 juta. Dari hasil pembelian diperoleh bahwa pegawai ke-1 membeli kayu seharga Rp. 30.000/m3, pegawai ke-2 Rp.35.000/m3, pegawai ke-3 Rp.32.000/m3. Berapa rata-rata harga kayu per meter kubik yang telah dibayar oleh perusahaan. Si A bepergian pulang pergi. Saat pergi kecepatannya 10 km/jam dan pulangnya 20 km/jam. Berapa rata-rata kecepatan pulang pergi?
Dalam postingan kali ini akan dibahas dulu untuk rata-rata hitung

Rata-rata hitung adalah rata-rata yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Para guru sering membuat rata-rata nilai siswa selama satu catur wulan tertentu. Adapun untuk data tunggal, rumus dalam menghitung rata-rata dapat menggunakan tiga cara. Dalam buku ini hanya akan dibahas satu cara yaitu:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgt50Z32jXxU1Ri7OyJ_Q_yJEngz_npwoIMXE515awL9jyr7ny_5Vdxd9gvmmnHzqQrHTWnbKDN91zcGaUpPmeQWveBlFYqE78xpibVK9aVToFIBR_WyZewQwqi-0WVoY-8_7Ctj3yelTQ/s320/mean.gif

untuk data tunggal dan
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-4kb38HNH5E8ylzsAcMCnuphaZ-a8jPfqGGY3-qLXxPTQMklmJWXyDsH4MbZJs_MJ0-q6Oh91Oolj4tvlmTGPTLB0yDCZ5mCjrU6QnmMCgXCXUjcXy-_ug2h3G8ELoggubAP1tcfCna0/s320/mean+2.gif
Untuk data kelompok dimana i=1,2, k (k adalah banyaknya interval kelas) fi adalah frekuensi kelas ke-I dan Xi adalah nilai tengah kelas ke- i.
Misalnya kita memiliki data hasil ujian 25 orang siswa/i sejarah peradaban Islam MTs Darul Hikmah sebagai berikut:

79  63  72  82  74
36  42  67  51  88
68  73  78  77  96
67  67  48  41  57
91  45  83  71  50

Maka kita dapat menghitung rata-rata nilai siswa MTs Darul Hikmah untuk mata pelajaran Sejarah Peradaban Islam dengan menggunakan rumus di atas sebagai berikut:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuYSTjzprV2M7AYSuinSAbhLIN8BgSndRRnpYuSHWd9C77U03VYdWPJirhQCRHASzyl0XvSfNYImIYPWFxnPU3gLQMLyGMcwvtuqGYRsjCssyUmUZMUkG-HiGq9WEq_3Ew3ycst-4Ftn8/s320/mean+3.gif
jadi rata-ratanya adalah (x
̅) = 66,64

Jika data di atas kita buat dalam bentuk kelompok, maka yang pertama yang harus dilakukan adalah membuat tabel distribusi seperti dibawah ini:


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmDlQYWfg7Let1hw4-HqT8X90dTqPoVPdvxvFNhxXaJkqCoqyJvQAscKXWs5EE7X6Ij0-vf_irznTtZ6boQy8rPwWikWD6mPxmqrWUO-V2iNNAy6dpYiVsQlUlkBJOKhose7tWqZlNv58/s320/mean+4.gif

Dengan menggunakan rumus di atas maka kita dapat menentukan rata-rata dengan cara:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgD_0hJSLEVi8tkSuUoMxgL0ZsQH00mDsHndQHBzaI-t_gxH0Tzryh9r3ybny4BZHHThM9iuxeqld2uPoq8D6RBjRjgYvc9ZMaVq8sHW_LcnKoT5HgRJ2bKrpd3HJnIlXnGeZlNaPJc26U/s320/mean+5.gif
bandingkan hasil perhitungan data kelompok dengan data tunggal!!

kita menemukan bahwa menghitung mean pada data berkelompok menghasilkan nilai yang berbeda dengan menghitung mean pada data tunggal. Aspek ramalan yang kita gunakan pada penentuan mean dengan menggunakan data berkelompok turut menentukan hasil mean yang kita temukan. Ternyata menentukan modus dengan tidak mengelompokkan data lebih tepat daripada kita mengelompokkan data terlebih dahulu. tingkat ketempatan akurasi ini dikarenakan dengan manggunakan data tunggal, maka yang kita hitung adalah data sebenarnya.

Rabu, 20 Juni 2012

Ergonomi Antropometri



BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Ergonomi Antropometri

2.1.1 Pengertian Ergonomi

Ergonomi sering disebut Human Factor Engineering, suatu ilmu yang mengatur bagaimana manusia bekerja. Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa Yunani yaitu Ergo (kerja) dan Nomos (peraturan dan hukum kerja) serta dapat didefenisikan sebagai penerapan ilmu-ilmu biologi tentang manusia bersama-sama dengan ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya.
Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari perancangan pekerjaan-pekerjaan yang dilaksanakan oleh manusia, sistem orang dan mesin, peralatan yang dipakai manusia agar dapat dijalankan dengan cara yang paling efektif termasuk alat-alat peragaan untuk memberi informasi kepada manusia. (Sutalaksana : "Teknik Tata Cara Kerja").
Perhatian utama ergonomi adalah pada efisiensi yang diukur berdasarkan pada kecepatan dan ketelitian performance manusia dalam penggunaan alat. Faktor keamanan dan kenyamanan bagi pekerja telah tercakup di dalam pengertian efisiensi tersebut. (Wesley E Woodson).
Suatu rancangan memenuhi kriteria “baik” apabila mampu memenuhi konsep ENASE (Efektif, Nyaman, Aman,Sehat dan Efisien). Dan untuk mencapai konsep ENASE ini maka ilmu ergonomi memiliki peran yang sangat besar. Karena di dalam ilmu ergonomi manusia merupakan bagian utama dari sebuah system (Human Integrated Design), maka harus disadari benar bahwa faktor manusia akan menjadi kunci penentu sukses didalam operasionalisasi sistem manusia-mesin (produk); tidak peduli apakah sistem tersebut bersifat manual, semiautomatics (mekanik) ataupun full-automatics.
Dalam penyelidikannya Ergonomi pada dasarnya dikelompokkan atas empat bidang penyelidikan,
yaitu :
a.Penyelidikan tentang tampilan (display)
b. Penyelidikan tentang kemampuan kekuatan fisik manusia (Biomekanika)
c. Penyelidikan tentang ukuran tempat kerja (Antropometri)
d. Penyelidikan tentang lingkungan fisik

Berkenaan dengan bidang-bidang penyelidikan itu, maka terlibat sejumlah disiplin dalam ergonomi, yaitu :
a. Anatomi dan fisiologi ; cabang ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi tubuh pada manusia.
b. Antropometri ; ilmu yang mempelajari tentang ukuran-ukuran/dimensi tubuh manusia.
c. Fisiologi psikologi ; ilmu yang mempelajari sistem syaraf dan otak.
d. Psikologi eksperimen ; ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan tingkah laku manusia.

Oleh murel dan kawan-kawan, fungsi ergonomi dirumuskan sebagai ”studi ilmiah tentang perkaitan antara orang dengan lingkungan kerjanya ”(The Scientific Study of the relationship between man and his working environment).
Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktifitas rancang bangun (design) ataupun rancang ulang (Redesign). Inti dari ergonomi adalah suatu prinsip pekerjaanlah yang harus disesuaikan terhadap kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia (fitting the job to the man rather than the man to the job). Ini berarti dalam merancang suatu jenis pekerjaan perlu diperhatikan faktor-faktor apa saja yang menjadi kelebihan dan keterbatasan manusia sebagai pelaku kerja. Salah satu faktor keterbatasan manusia yang harus diperhatikan adalah ketrbatasn dalam ukuran dimensi tubuh. Untuk tujuan perancangan inilah dibutuhkan data-data mengenai diri seseorang.

2.1.2 Manfaat dan Peran Ilmu Ergonomi
Ergonomi memeiliki beberapa manfaat, diantaranya :
1. Meningkatkan unjuk kerja, seperti : menambah kecepatan kerja, ketepatan, keselamatan kerja, mengurangi energi serta kelelagan yang berlebihan.
2. Mengurangi waktu, biaya pelatihan dan pendidikan
3. Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia melalui peningkatan ketrampilan yang diperlukan.
4. Mengurangi waktu yang terbuang sia-sia dan meminimalkan kerusakan peralatan yang disebabkan kesalahan manusia.
5. Meningkatkan kenyamanan karyawan dalam bekerja

Dalam lapangan kerja, ergonomi ini juga mempunyai peranan yang cukup besar. Semua bidang pekerjaan selalu menggunakan ergonomi. Ergonomi ini diterapkan pada dunia kerja supaya pekerja merasa nyaman dalam melakukan pekerjaannya. Dengan adanya rasa nyaman tersebut maka produktivitas kerja diharapkan menjadi meningkat. Secara garis besar ergonomi dalam dunia kerja akan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagaimana orang mengerjakan pekerjaannya.
2. Bagaimana posisi dan gerakan tubuh yang digunakan ketika bekerja.
3. Peralatan apa yang mereka gunakan.
4. Apa efek dari faktor-faktor diatas bagi kesehatan dan kenyamanan pekerja.

Aspek-aspek Ergonomi yang mendukung terciptanya lingkungan kerja yang nyaman. Sebagai contoh pada pekerja yang berhubungan dengan komputer.
1. Ergonomi Stasiun Kerja
a. Keluhan yang sering muncul :
 Pengguna komputer mengalami ketegangan otot pundak, ketegangan otot siku, ketegangan punggung.
Ø
 Pengguna yang bekerja lama didepan komputer akan mendapatkan miope yang semakin besar. (Haider-Austria).
Ø
 Pengguna mengalami iritasi dan ketegangan mata yang semakin hari makin bertambah. (Laubli – Swiss).
Ø
b. Cara Mengatasi Keluhan
 Perlu pengaturan tata letak semua peralatan yang digunakan
Ø di stasiun kerja.
 Dua faktor yang mempengaruhi unjuk kerja operator, yakni viewing angle dan posisi papan ketik. (Sauter).
Ø
 Rancangan stasiun kerja yang baik adalah penempatan papan ketik dan tempat duduk pada ketinggian yang tepat. (Dainof).
Ø

2. Aspek Pencahayaan
Lebih ditekankan pada pencahayaan di area layar tampilan. Untuk menghindari kelelahan mata.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
 Hindarkan pengguna dari cahaya terang langsung/tak langsung
Ø
 Atur keseimbangan antar kecerahan la
Øyar tampilan dan kecerahan yang ada di depan pengguna.
 Hindari cahaya menyilaukan, langsung/tak langsung, yang mengenai layar.
Ø
 Pastikan bahwa ada cahaya cukup untuk pekerjaan yang tidak menggunakan layar tampilan.
Ø
3. Aspek Suhu dan Udara
Kenyamanan udara (thermal comfort) adalah kondisi dimana manusia merasa tidak kepanasan atau kedinginan pada saat dia hanya mengenakan pakaian biasa. Kenyamanan udara ini dapat diperoleh dengan mengatur kelembaban, suhu, dan aliran udara.
Ukuran kenyamanan udara (ASHRAE Standard 55)
 Kecepatan aliran udara
Ø : 0.15 m/s.
 Kelembaban relatif sebesar
Ø : 50% baik musin dingin/panas.
 Suhu pada musim dingin
Ø : 23 - 26 C.
 Suhu pada musim panas
Ø : 20 - 23.5 C.
4. Aspek Gangguan Suara
a. Suara dapat menjadi salah satu faktor yang diperhatikan karena :
 Suara-suara tertentu bisa mempengaruhi konsentrasi seseorang.
Ø
 Hilangnya konsentrasi menyebabkan turunnya kinerja seseorang.
Ø
b. Cara pengendalian gangguan suara
 Pasang panel kedap suara.
Ø
 Buat active noise controller.
Ø
 Berikan pengertian ke sesama teman kerja tentang jenis musik dan
Ø tingkat volume suara dari audio sistem yang sedang diaktifkan.


2.1.3 Resiko Karena Kesalahan Ergonomi
Sering dijumpai pada sebuah industri terjadi kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja tersebut disebabkan oleh faktor dari pekerja sendiri atau dari pihak menajemen perusahaan. Kecelakaan yang disebabkan oleh pihak pekerja sendiri, karena pekerja tidak hati-hati atau mereka tidak mengindahkan peraturan kerja yang telah dibuat oleh pihak manajemen. Sedangkan faktor penyebab yang ditimbulkan dari pihak manajemen, biasanya tidak adanya alat-alat keselamatan kerja atau bahkan cara kerja yang dibuat oleh pihak manajemen masih belum mempertimbangkan segi ergonominya. Misalnya pekerjaan mengangkat benda kerja di atas 50 Kg tanpa menggunakan alat bantu. Kondisi ini bisa menimbulkan cidera pada pekerja.
Untuk menghindari cedera, pertama-tama yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi resiko yang bisa terjadi akibat cara kerja yang salah. Setelah jenis pekerjaan tersebut diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah menghilangkan cara kerja yang bisa mengakibatkan cidera.

Tabel 2.1. Tabel Resiko
Faktor Resiko Definisi Jalan Keluar
Pengulangan yang
banyak Menjalankan gerakan
yang sama berulangulang Desain kembali cara kerja untuk mengurangi jumlah pengulangan gerakan atau meningkatkan waktu jeda antara ulangan, atau menggilirnya dengan pekerjaan lain
Tekanan Tubuh tertekan pada suatu permukaan atau tepian Memperbaiki peralatan yang ada untuk menghilangkan tekanan, atau memberikan bantalan


Tabel 2.1. (Lanjutan) Tabel Resiko
Faktor Resiko Definisi Jalan Keluar
Getaran Menggunakan peralatan yang bergetar Mengisolasi tangan dari getaran
Dingin atau panas
yang ekstrim Dingin mengurangi daya raba, arus darah, kekuatan dan keseimbangan. Panas menyebabkan kelelahan Atur suhu ruangan, beri insulasi pada tubuh
Organisasi kerja
yang buruk
Termasuk bekerja dengan irama mesin, istirahat yang tidak cukup, kerja monoton,
beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan dalam satu waktu Beban kerja yang layak, istirahat yang cukup, pekerjaan yang bervariasi, otonomi individu

2.2 Antropometri

2.2.1 Pengertian Antropometri
Antropometri berasal dari kata antropos yang artinya manusiadan metri yang berarti ukuran. Jadi antropometri diartikan sebagai suatu ilmu yang secara khusus berkaitan dengan pengukuran tubuh manusia yang digunakan untuk menentukan perbedaan pada individu, kelompok, dan sebagainya.
Antropometri menurut Stevenson ( 1989 ) dan Nurmianto ( 1991 ) adalah suatu kumpulan data secara numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain. Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai mean ( rata-rata ) dan standar deviasinya dari satu distribusi normal
Antropometri mengkaji masalah tubuh manusia. Informasi ini diperlukan untuk merancang suatu sistem kerja agar menunjang kemudahan pemakaian, keamanan dan kenyamanan dari suatu pekerjaan, sehingga antropometri dapat juga diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara struktur dan fungsi tubuh ( termasuk bentuk dan ukuran tubuh ) dengan disain alat – alat yang digunakan manusia.
Antropometri berperan penting dalam bidang perancangan industri, perancangan pakaian, ergonomik, dan arsitektur. Dalam bidang-bidang tersebut, data statistik tentang distribusi dimensi tubuh dari suatu populasi diperlukan untuk menghasilkan produk yang optimal. Perubahan dalam gaya kehidupan sehari-hari, nutrisi, dan komposisi etnis dari masyarakat dapat membuat perubahan dalam distribusi ukuran tubuh (misalnya dalam bentuk epidemik kegemukan), dan membuat perlunya penyesuaian berkala dari koleksi data antropometri.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Variasi Data Antropometri
Manusia pada umumnya berbeda-beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran tubuh manusia, yaitu:
1. Umur/Usia
Ukuran tubuh manusia akan berkembang dari saat lahir sampai sekitar 20 tahun untuk pria dan 17 tahun untuk wanita. Setelah itu, tidak lagi akan terjadi pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi pertumbuhan menurun ataupun penyusutan yang dimulai sekitar umur 40 tahunan.
Manusia dapat digolongkan atas beberapa kelompok usia yaitu :
a. Balita
b. Anak-anak
c. Remaja
d. Dewasa, dan
e. Lanjut usia.
2. Jenis kelamin (sex)
Pada umumnya dimensi pria dan wanita ada perbedaan yang signifikan diantara rata-rata dan nilai perbedaan ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Pria dianggap lebih panjang dimensi segmen badannya daripada wanita. Oleh karenanya data antropometri sangat diperlukan dalam perancangan sebuah alat atau produk. Secara umum pria memiliki dimensi tubuh yang lebih besar kecuali dada dan pinggul.
3. Suku bangsa (etnik),
Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnik tertentu akan memiliki karakteristik fisik yang berbeda satu dengan yang lainnya.
4. Sosio ekonomi,
Tingkat sosio ekonomi sangat mempengaruhi dimensi tubuh manusia. Pada negara-negara maju dengan tingkat sosio ekonomi tinggi, penduduknya mempunyai dimensi tubuh yang besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang.
5. Posisi tubuh (posture),
Sikap ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh oleh karena itu harus posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran.

2.2.3 Alat-Alat Ukur Antropometri (Antropometer)
Dalam pengukuran antropometri digunakan Beberapa alat, diantara alat-alat tersebut adalah sebagai berikut
1. Goniometer ini dipakai untuk mengukur lekukan-lekukan tubuhmanusia.








Gambar 2.1 Goniometer

2. Kursi antropometri dipakai untuk mengukur data-data antropometri manusia dalam posisi duduk. Data yang diperoleh biasanya dipakai untuk merancang kursi dan ketinggian meja kerja serta untuk perancangan fasilitas kerja yang berhubungan dengan manusia pemakainya. Orang yang akan diukur data antropometrinya harus duduk di kursi ini.














Gambar 2.2 Kursi Antropometri












Gambar 2.3 Jenis-jenis antropometer



Secara umum deskripsi dari pengukuran data antropometrik terdiri dari setidaknya tiga buah tipe terminology dasar yaitu :
1. Locator yang mengidentifikasikan suatu titik atau daerah dari tubuh yang menjadi dasar pengukuran titik atau bidang.
2. Orientator yang mengidentifikasikan arah atau tujuan dari suatu dimensi tubuh.
3. Potensioner yang menandakan asumsi dari posisi tubuh subyek dalam pengukuran, seperti posisi duduk.

2.3 Data Antropometri

Data antropometri adalah data mengenai ukuran dimensi tubuh manusia. Data antropometri diperoleh dari pengukuran bagian tubuh manusia, jenis-jenis pengukuran tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.


















Gambar 2.4 Ukuran Tubuh Manusia pada Pengukuran Antropometri

Dimensi tubuh manusia untuk perancangan produk terdiri dari dua jenis, yaitu struktural dan fungsional. Dimensi tubuh struktural yaitu pengukuran tubuh manusia dalam keadaan tidak bergerak. Sedangkan dimensi tubuh fungsional adalah pengukuran tubuh manusia dalam keadaan bergerak. Secara umum data antropometri yang sering digunakan untuk merancang produk dan stasiun kerja adalah :

2.3.1 Antropometri Struktural
Pengukuran manusia pada posisi diam dan linier pada permukaan tubuh. Ada beberapa metode pengukuran tertentu agar hasilnya representative. Disebut juga pengukuran dimensi struktur tubuh dimana tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak (tetap tegak sempurna). Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap antara lain meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam posisi berdiri maupun duduk, ukuran kepala, tinggi atau panjang lutut pada saat berdiri atau duduk, panjang lengan, dan sebagainya. Antropometri struktural ini diantaranya: tinggi selangkang, tinggi siku, tinggi mata, rentang bahu, tinggi pertengahan pundak pada posisi duduk, jarak pantat-ibu jari kaki, dan tinggi mata pada posisi duduk

2.3.2 Antropometri Fungsional
Antropometri fungsional adalah pengukuran keadaan dan ciri-ciri fisik manusia dalam keadaan bergerak atau memperhatikan gerakan-gerakan yang mungkin terjadi saat pekerja tersebut melaksanakan kegiatannya. Hasil yang diperoleh merupakan ukuran tubuh yang nantinya akan berkaitan erat dengan gerakan-gerakan nyata yang diperlukan tubuh untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Antropometri dalam posisi tubuh melaksanakan fungsinya yang dinamis akan banyak diaplikasikan dalam proses perancangan fasilitas ataupun ruang kerja.

2.3.3 Persentil
Persentil adalah suatu nilai yang menunjukkan persentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada atau dibawah nilai tersebut. Sebagai contoh, persentil ke-95 akan menunjukkan 95% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran tersebut, sedangkan persentil ke-5 akan menunjukkan 5% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran itu. Dalam antropometri, angka persentil ke-95 akan menggambarkan ukuran manusia yang “terbesar” dan persentil ke-5 sebaliknya akan menunjukkan ukuran “terkecil”. Bilamana diharapkan ukuran yang mampu mengakomodasikan 95% dari populasi yang ada, maka diambil rentang 2.5-th dan 97.5-th persentil sebagai batas-batasnya. Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan data antropometri ada pada tabel berikut.

2.3.4 Prinsip – Prinsip Penerapan Data Antropometri
Prinsip – prinsip penerapan data antropometri adalah :
1. Prinsip perancangan bagi individu dengan ukuran ekstrim.
Berdasarkan prinsip ini, rancangan yang dibuat bisa digunakan oleh individu ekstrim yaitu terlalu besar atau kecil dibandingkan dengan rata- ratanya agar memenuhi sasaran, maka digunakan persentil besar (90th, 95th atau 99th percentile) atau persentil kecil (1st, 5h atau 10th percentile)
2. Prinsip perancangan yang bisa disesuaikan.
Disini, rancangan bisa diubah – ubah ukurannya sehingga cukup fleksibel untuk diaplikasikan pada berbagai ukuran tubuh (berbagai populasi). Dengan menggunakan prinsip ini maka kita dapat merancang produk yang dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen. Misalnya kursi pengemudi pada kendaraan.
3. Prinsip perancangan dengan ukuran rata – rata.
Rancangan didasarkan atas rata – rata ukuran manusia. Prinsip ini dipakai jika peralatan yang didisain harus dapat dipkai untuk berbagai ukuran tubuh manusia. Disain dengan prinsip ini dapat dikatakan perancangan dengan persentil 50. Masalahnya adalah bahwa dapat dikatakan sangat sedikit atau tidak ada yang namanya individu rata – rata sehingga perancangan berdasarkan prinsip ini memerlukan kajian yang lebih mendalam lagi. Perancangan berdasarkan ukuran rata-rata dapat menggunakan data persentil 95-th untuk ,mendsain peralatan dengan ukuran maksimum. Sedangkan untuk ukuran minimum digunakan data persenti kecil dari persentil 10-th.

Tabel 2.2. Persentil dan Perhitungan
Persetil Perhitungan
1ST X – 2,325 σ
2,5TH X – 1,96 σ
5TH X – 1,645 σ
10TH X – 1,28 σ
50TH X
90TH X + 1,28 σ
95TH X + 1,645 σ
97,5TH X + 1,96 σ
99TH X + 2,325 σ












Gambar 2.5. kurva Distribusi Normal

Sebagai contoh, dari hasil pengukuran tubuh manusia Indonesia (dewasa, laki-laki, usia antara 18–45 tahun) diperoleh data dengan distribusi normal, tinggi rata-rata 165 cm dan standard deviasi 6,5 cm. Berapakah ukuran persentil 90.
Jawab :
90-th ukuran = X + 1 , 28 σ x
= 165 + 1,28 (6,5) = 173,32 cm

2.3.5 Pengujian Data Antropometri
Untuk mengetahui variasi atau perbedaan data yang diperoleh dan untuk menghitung ukuran data yang diperlukan, maka harus dilakukan uji kenormalan data, uji keseragaman data dan uji kecukupan data.

1. Uji kenormalan data
Uji kenormalan data digunakan untuk melihat apakah data yang diperolrh telah berdistri normal atau belum dengan cara memplotkan data kedalam kurva distribusi normal. Berdasarkan uji kenormalan data akan diketahui sifat-sifat dari data, seperti Mean, Modus, Median dan lain sebagainya
Dalam pokok bahasan antropometri, 95 persentil menunjukkan tubuh berukuran besar, sedangkan 5 persentil menunjukkan tubuh berukuran kecil. Jika diinginkan dimensi untuk mengakomodasi 95 % populasi maka 2,5 % dan 97,5 persentil adalah batas rentang yang dapat dipakai dan ditunjukkan.
Persamaan uji kenormalan data yang digunakan :

Diamna x2c dibandingkan dengan tabel normal (distribusi Chi kuadrat) dan mempertimbangkan nilai (tingkat signifikasi) dan v (derajat kebebasan).
2. Uji keseragaman data
Uji keseragaman data dapat dilakukan dengan peta control-x (x-chart) untuk membuat peta control, prosedur yang harus diikuti adalah sebagai berikut:
a. Hitung nilai rata-rata dari keseluruhan data ( )
persamaan yang digunakan :

b. Hitung standar Deviasi ( )
Persamaan yang digunakan adalah



c. Hitung Standar deviasi rata-rata ( )
Persamaan yang digunakan adalah

d. Tentukan batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB) dengan formula sebagai berikut :
BKA = +β
BKB = -β
e. Cek apakah nilai rata-rata dari setiap grup yang diperoleh telah berada didalam batas kontrol
3. Uji kecukupan data
Apabila semua nilai rat-rata sub grup berada dalam batas control, maka semua data-data dapat digunakan. Untuk menghitung banyaknya pengukuran yang diperlukan untuk menghitung banyaknya pengukuran digunakn rumus :

Keterangan :
N’ = jumlah data yang diperlukan
N = jumlah data yang telah di lakukan
β = tingkat kepercayaan
α = tingkat ketelitian




2.3.6 Penggunaan Data Antropometri
Sebelum membahas lebih jauh mengenai penggunaan data ini maka ada baiknya kita bahas istilah “The fallacy of the average man or average woman”.
Istilah ini mengatakan bahwa merupakan suatu kesalahan dalam perancangan suatu tempat kamar mandi jika berdasar pada dimensi yang hipotesis yaitu menganggap bahwa semua dimensi adalah merupakan rata-rata. Walaupun hanya dalam penggunaan satu dimensi saja, seperti misalnya jangkauan kedepan (forward reach), maka penggunaan rata-rata (50 persentil) dalam penyesuaian pemasangan suatu tempat peralatan mandi akan menghasilkan bahwa 50 % populasi akan tidak mampu menjangkaunya. Selain dari itu, jika seseorang mempunyai dimensi pada rata-rata populasi, katakanlah tinggi badan, maka, belum tentu , bahwa dia berada pada rata-rata populasi untuk dimensi lainnya.
Adapun pendekatan dalam penggunaan data antropometri diatas adalah sebagai berikut :
a. Pilihlah standar deviasi yang sesuai untuk perancangan yang dimaksud..
b. Carilah data pada rata-rata dan distribusi dari dimensi yang dimaksud untuk populasi yang sesuai.
c. Pilihlah nilai persentil yang sesuai sebagai dasar perancangan.

Jumat, 15 Juni 2012

STRENGTH AND POWER TESTING (DYNAMOMETRY


STRENGTH AND POWER TESTING (DYNAMOMETRY)
Abernethy, P., Wilson, G., & Logan, P. (1995). Strength and power assessment. Sports Medicine, 19, 401-417. http://coachsci.sdsu.edu/csa/vol21/dividred.gif
This review article considers the factors associated with strength and power testing. It highlights shortcomings and problems associated with this form of assessment. An underlying theme that is verified by its exhaustive review is that much strength and power testing is invalid and unreliable. The reasons for this status are primarily a failure to scientifically develop testing protocols and validities and then to cross-validate the utility of tests with each sport and level of participant.
Generally, there is little consistency between laboratories in terms of the rationale for, or execution of, strength and power assessments. This means that results will be dependent upon who does the testing. The tenuousness of those results is compounded further when unsubstantiated validity, reliability, and accuracy are considered.
Strength and power are assessed for four main purposes:
  • to quantify the relative significance and contribution of strength and power to various athletic events;
  • to identify specific deficiencies and prescribe corrective programs to produce appropriate changes (diagnosis);
  • to identify talented individuals who may be suited to particular sporting activities; and
  • to monitor the effect of various training and rehabilitation interventions.
Current methods of dynamometry can measure power associated with tasks in which either the load or movement velocity are held constant. This contrasts with the dynamic nature of sporting activities. This discrepancy between sports and laboratory activities is one of the major challenges for sport scientists.
Testing is further confounded when the type of contractions, movement paths, and nature of the testing activity are at variance with what occurs in the sporting situation. These problems create difficulties in mimicking sporting movements. Consequently, many testing protocols are limited to nonspecific tasks. The difficulty presented with "general" tests is their lack of sensitivity to the requirements of and changes in specific sporting activities. Important movement, capacity, and adaptive subtleties are likely to be lost in nonspecific tests.
The failure to address these problems because of expediency and the "need" for testing does not make testing any more valuable or useful. It serves to perpetuate problems and increases the likelihood of inappropriate information being used to make coaching decisions. The current trend to perform testing for testing sake is the symptom of this expediency.
There are three modes of dynamometry:
  1. Isometric dynamometry measures the amount of strength that can be exerted against an immovable object (MVC - maximal voluntary contraction). The important characteristic of isometric contractions is the rapidity with which maximum force can be developed (RFD - rate of force development). Proponents of this form of testing assert there is a high level of assessment control. Detractors assert that isometric tests bear little semblance to the dynamic nature of sporting tasks.
Isometric assessments usually display high test-retest reliabilities. However, reliability varies between the muscle groups and the parameter (RFD or MVC) being assessed. Different tests are appropriate for athletes, nonathletes, women, men, and children. Differences in the posture of actions also change reliabilities.
To achieve some potential for acceptable reliability, it is suggested that:
    • actions be performed as hard and fast as possible,
    • the testing posture mimic that of the sport (since strength is context specific), and
    • tests be performed at the joint angle associated with peak force during the target athletic movement.
  1. Isoinertial dynamometry involves natural activities. Previously this was called isotonic (constant tension) work, but the nature of dynamic work is hardly that and so the "new" label is more appropriate. Isoinertial means constantly resistant to motion, and in most activities resistances such as gravity, water, air, and equipment are always impeding progress and performance. Maximum successful exertion for one repetition of a task (1RM) is the usual measure of maximum isoinertial strength and is used commonly in sport profiling.
However, isoinertial movements also bear little resemblance to sporting activities. They are usually performed relatively slowly and are trained by a low number of repetitions. This nonspecific measure and training mode is questionable for its relevance and transfer value to actual sporting movements. Some argue that the dynamic accelerative motion associated with these tests more closely approximates movements in many sports. Those who argue against this form of assessment emphasize the potential for athlete injury and poor reliability and objectivity due to intertrial, interathlete, and interlaboratory variations. Much of the gains in these forms of tests results from learning to do the movements of the tests rather than reflecting training effects from sporting participation.
There may be a load threshold beyond which reductions in reliability of this form of movement seriously compromise its validity. For example, several acute variables, including preloading and recovery between 1RM efforts, may affect 1RM strength. The number of trials to achieve maximum and the type of movement will also affect reliability. Further, it is also very possible that maximum values of exertion may not be the best measure of a strength and power capacity in a number of sports.
  1. Isokinetic dynamometry is perceived to be the easiest assessment over which to achieve reliability and objectivity. However, the movement loading pattern bears little relationship to most sporting activities. That weakness makes inferences from results to actual activity tenuous at best.
Reliability is affected by the selected speed of the movement. Usually fewer trials are needed for slow movements while more are needed for fast movements. The order of testing also influences results. It has been shown that reliability of eccentric and concentric assessments is reduced when tests for highest speed precede those of lower speeds. Further, results for one joint should not be considered characteristic of other untested joints. It is incorrect to infer strength status between joints and movements, particularly in highly trained athletes. As with other forms of strength assessment, test positioning and stabilization affect reliability.
With all forms of dynamometry, there are weaknesses that often make results unreliable and therefore, unrelated to sporting pursuits. Poor generalization, particularly in light of strong support for the specificity of training effect, is further compounded by non-standardized and poorly constructed testing protocols. The validity, reliability, and objectivity of strength and power testing procedures has to be established before any credence can be placed in results so that better coaching decisions can be made.
Most assessment procedures offered by sports science services display discrepancies in the logic and practices of their proponents because they are generally governed by belief, preference and/or expediency, rather than objectively verified fact and practice. As such, strength and power testing rarely deserves the status of acceptable sports "science." The following are worthy of note.
  • It is unlikely that any one procedure will be able to be used for several major purposes (e.g., diagnosis, talent identification, training effects).
  • The usefulness of particular protocols within a sport may differ with the level of athlete targeted for testing.
  • Minor changes in protocols are likely to greatly affect the usefulness of a test in a particular context.
  • Procedures influenced by assumptions and approaches based upon anecdotal evidence should be questioned.
  1. Factors which modify strength and power test results.
    • The time of testing after previous competitions or intensive training bouts will influence results. Strength (1RM) can take up to 3 days to recover from similar intensive stimulation, such as that performed by athletes in regular training.
    • Strength, particularly isokinetic strength, and power are reduced by exposure to single bouts of intensive endurance activity. Continued endurance training in the absence of strength and power work reduces those capacities even further. It is recommended that prior to assessment, the physical activity of athletes be limited, monitored, and controlled for 72 hours.
    • Any strength or power assessment should be substantiated by established validity, reliability, and objectivity demonstrations rather than being assumed or expediently argued as self-evident truths.
  2. Correlations between test measures and athletic performance.
    • There is only a limited amount of published research relating strength and power assessments to athletic performance.
    • Correlations may exist between tests and performances but that does not mean the tests will be able to reflect training effects. For example, power may be shown to relate to sprint swimming performance, but changes in performance speed usually are not reflected in strength/power test results.
  3. Discriminations between groups of individuals.
    • Generally strength and power assessments demonstrate correlated differences between athletes across a wide range of standards. Also, men usually test stronger than women as do the mature over the young, and the active over the inactive.
    • Discriminability is quite weak when groups of like individuals are tested. Inferring any strength/power differences to performance is spurious. For example, the strength of football players is unrelated to playing status and ability.
  4. Sensitivity of testing to training effects.
    • There is no consistent finding that dynamometric measures are sensitive to the effects of various types of training nor whether all measures are similarly sensitive to training effects. It would be an error to place much credence on one study that supports a discriminatory finding.
    • An important question to ask of supposedly training-sensitive strength and power measures is whether existing correlations between tests and performance demonstrate a correlation of a similar or increased magnitude following training or detraining. A marked reduction in correlation would suggest that what was being measured initially has changed and become more unrelated.
    • Increments in strength and power following training may be limited to specific movement patterns, contractile speeds, and loading modalities. It is likely that in many studies and practical situations involving seriously training athletes the only power and strength improvements that occur will be in the actual activities used for training. There will be no carry over to a targeted performance activity.
    • It is erroneous to believe that all strength and power assessments will be sensitive to the adaptations associated with all forms of strength and power conditioning.
    • It is frequently assumed, but more likely unknown, that strength and power measures reflect training changes established in other activities through other modalities.
  5. Assumptions of strength and power assessment.
    • About the only fact that can be stated accurately about strength and power assessment procedures is that they assess the performance used in their conduct.
    • For the large majority of strength and power tests, it is difficult to verify that the mechanisms being tested are in fact being measured.
    • In situations of practical expediency, the issues of logical validity and models for the development of strength and power are often confused. A distinction must be made between the two to understand what assessments actually do.
Implications. Practical situations often determine the limits of testing and training. Assessments quite often are restricted to available equipment, whether or not the modality of testing is appropriate for a sport. When this situation exists, a coach or athlete should ask for objective verification of claims of benefit before participating in testing or training. Given the state of scientific knowledge and demonstrations in this field, it would be more prudent for a coach to graciously refuse to accept assistance from "strength and power trainers" if no substantiating evidence can be provided.
Until this area of sports conditioning and assessment is clarified by acceptable research, its claims must be viewed with skepticism. There are too many advocates making too many uncorroborated claims about the value of inferring strength and power assessment results to program presumptions and consequential athlete benefits.
http://coachsci.sdsu.edu/csa/vol21/dividred.gif

menejemen lingkungan


MAKALAH MANAJEMEN LINGKUNGAN
TENTANG
PENCEMARAN AIR, TANAH KARENA TINJA MANUSIA




FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
TAHUN 2010-2011





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDHULUAN
a.      Latar belakang
b.      Tujuan
c.       Rumusan permasalahan
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pencemaran Tanah dan Air Karena Tinja
2.2 Syarat Pembuangan Tinja
2.3 Metode Pembuangan Tinja
2.4 Penyebaran Penyakit Melalui Tinja
2.5 Kotoran Manusia Dikembangkan Menjadi Energi Bio Gas
BAB III ANALISA MASALAH
3.1  bagaimana cara membuat septic tank yang baik untuk mengatasi pencemaran air dan tanah?
                        3.2  penyakit apa yang yang ditimbulkan oleh pencemaran tinja manusia?
                        3.3 apa manfaat dari tinja manusia?
BAB IV PENUTU
                        4.1 Kesimpulan
                        4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN
1.1.latar belakang

Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama dan cermat. Karena untuk mendapatkan air yang bersih, sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia , baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Dan ketergantungan manusia terhadap air pun semakin besar sejalan dengan perkembanga penduduk yang semakin meningkat . contohnya di daerah surabaya, yang pola penyebaran kepadatan penduduknya tidak merata dan volume penduduk pendatangnya cukup besar, hal ini mengakibatkan makin berkembangnya permukiman-permukiman yang kurang terencana baik dalam bentuk kawasan hunian sub standar dan tidak teratur. Dan dengan adanya permukiman-permukiman yang kurang terencana, maka dapat mengakibatkan sistem pembuangan limbah rumah tangga seperti pembuangan limbah kamar mandi/wc dan dapur tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga limbah tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah yang dapat mengakibatkan terjadinya penyebaran beberapa penyakit menular. Selain mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah dapat juga mengkibatkan lingkungan di daerah pemukiman tersebut menjadi tercemar.
Oleh kerena itu dalam pembuangan limbah domestik di daerah permukiman tersebut sebaiknya dilakukan pembuatan sistem jaringan pembuangan limbah yang dapat menumpang dan mengalirkan limbah tersebut secara baik dan benar, agar dapat mencegah terjadinya kontak antara kotoran sebagai sumber penyakit dengan air yang sangat diperlukan untuk keperluan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kualitas dan kualitas air tanah pada daerah permukiman tersebut harus terjamin, agar dapat di gunakan untuk keperluan hidup sehari-hari sesuai dengan standart kesehatan dan baku mutu kualitas air.




1.2 tujuan
            Untuk mengetahui seberapa besar dampak pencemaran air dan yang ditimbulkan oleh tinja manusia.
1.3 rumusan masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditemukan permasalahannya sebagai berikut:
1. bagaimana cara membuat septic tank yang baik untuk mengatasi pencemaran air dan tanah?
            2. penyakit apa yang yang ditimbulkan oleh pencemaran tinja manusia?
            3. apa manfaat dari tinja manusia?



















BAB II
LANDASAN TEORI
 2.1 Pencemaran tanah dan air karena tinja
Permasalahan utama pencemaran air di negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah terkontaminasinya air minum oleh bakteri dan virus yang dapat menyebabkan kesakitan maupun kematian. Pencemaran tersebut juga terjadi pada air tanah. Bahan pencemar dapat mencapai aquifer air tanah melalui berbagai sumber diantaranya meresapnya bakteri dan virus melalui septic tank.







Diperkirakan pada saat ini hampir sekitar 70 % air tanah di daerah perkotaan sudah tercemar berat oleh bakteri tinja, padahal separuh penduduk perkotaan masih menggunakan air tanah. Kondisi perumahan dan lingkungan yang padat (slum area) serta aktifitas dan berbagai kegiatan yang tanpa perencanaan lingkungan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Kondisi tersebut antara lain dapat menyebabkan berbagai kerusakan septick tank, dan pencemaran lainnya. Menurut studi Bappenas, walaupun sudah terdapat standar nasional tentang konstruksi septic tank, namun dalam implementasinya masih banyak terdapat catatan, antra lain :
  1. Adanya saluran air yang tersumbat, seharusnya fungsi saluran tersebut adalah mengalirkan air hujan, tetapi dalam pelaksanaannya dipakai menampung air kakus dan sampah sehingga jadi sarang penyakit.
  2. Belum terdapat peraturan yang mewajibkan penyedotan tinja secara rutin, serta belum ada pihak yang merasa berkepentingan memeriksa isi septic tank.
  3. Masih terdapat pandangan masyarakat bahwa bagus dan tidaknya septic tank.
  4. Akses masyarakat terhadap sarana sanitasi (air bersih dan MCK), sehingga masyarakat terpaksa masih menggunakan sungai.
  5. Standard tersebut kurang ditunjang oleh aturan-aturan pendukungnya, seperti belum adanya aturan yang membatasi jumlah septic tank per satuan luas kawasan.
  6. Fasilitas MCK yang tidak berfungsi secara optimal baik karena usang, salah konstruksi, tidak terawat, tidak ada air, maupun masyarakat yang belum siap menerima keberadaannya sesuai fungsinya.
  7. Kenyataan masih sebagian besar Influent industri di kawasan pemukiman dialirkan ke sungai tanpa proses pengelolaan terlebih dahulu.
  8. Kebiasaan buang air besar sembarangan masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat perkotaan. Berdasarkan data Susenas tahun 2004 lebih dari 12 persen penduduk perkotaan Indonesia sama sekali tidak memiliki akses ke sarana jamban.
  9. Usaha jasa sedot tinja, seringkali hingga saat ini masih membuang langsung muatannya ke sungai, alasannya tidak ada Instalasi Pembuangan Lumpur Tinja (IPLT)/atau tidak berfungsi. Teknis pembuatan jamban masih belum memenuhi standard, menurut penelitan hampir 35 persen jamban di kawasan perkotaan dalam kondisi tidak ada air, tidak ada atap atau tidak tersambung ke septic tank.
Air tanah dangkal merupakan air tanah yang memiliki kualitas yang pada umumnya baik, akan tetapi banyak tergantung kepada sifat lapisan tanahnya, apabila kondisi sanitasi lingkungan sangat rendah maka banyak tercemar oleh bakteri. Apabila berdekatan dengan industri dengan beban pencemaran tinggi dan tidak memiliki sistem pengendalian pencemaran air maka akan terpengaruh rembesan pencemaran. Informasi tentang pola pencemaran tanah dan air tanah oleh tinja sangat bermanfaat dalam perencanaan sarana pembuangan tinja, terutama dalam penentuan lokasi sumber air minum. Setelah tinja tertampung dalam lubang atau septick tank dalam tanah, maka kemampuan bakteri untuk berpindah akan sangat berkurang. Bakteri akan berpindah secara horizontal dan vertikal ke bawah bersama dengan air, air seni, atau air hujan yang meresap. Jarak perpindahan bakteri akan sangat bervariasi, tergantung pada berbagai faktor, diantaranya yang terpenting adalah porositas tanah. Perpindahan horizontal melalui tanah dengan cara itu biasanya kurang dari 90 cm, dengan perpindahan kearah bawah kurang dari 3 m pada lubang yang terbuka terhadap air hujan, dan biasanya kurang dari 60 cm pada tanah berpori.
Menurut Gotaas, dkk dalam Soeparman (2002), yang meneliti pembuangan secara buatan limbah cair ke akuifer di Negara Bagian California, AS, menemukan bahwa bakteri dapat berpindah sampai jarak 30 m dari titik pembuangannya dalam waktu 33 jam. Selain itu, terdapat penurunan cepat jumlah bakteri sepanjang itu karena terjadi filtrasi yang efektif dan kematian bakteri. Peneliti lain yang meneliti pencemaran air tanah di Alaska mencatat bahwa bakteri dapat dilacak sampai jarak 15 m dari sumur tempat dimasukkannya bakteri yang dicoba. Lebar jalan yang dilewati bakteri bervariasi, antara 45 dan 120 cm. Kemudian, terjadi penurunan jumlah organisme, dan setelah satu tahun hanya lubang tempat dimasukkanya saja yang dinyatakan positif mengandung organisme.
2.2 Syarat Pembuangan Tinja
Akses masyarakat terhadap sarana sanitasi khususnya jamban, saat ini masih jauh dari harapan. Berbagai kampanye dan program telah banyak dilakukan, terakhir dengan pemberlakuan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Berbagai upaya tersebut sebetulnya bermuara pada terpenuhinya akses sanitasi masyarakat, khususnya jamban. Namun akses tersebut selain berbicara kuantitas yang terpenting adalah kualitas. Perdebatan tentang pengertian sanitasi total, pada tahap awal akan terjadi pada ranah defenisi dan pengertian. Untuk menuju sanitasi total, penting untuk memastkan faktor supply dan demand tercapai dengan maksimal, untuk mewujudkan Open Defecation Free (ODF) pada tingkat komunitas.










Kenyataan di lapangan status ODF masih belum seiring dengan terpenuhinya syarat kualitas sarana (dan ini memang sering kali harus diabaikan dulu untuk mengejar perubahan perilaku). Namun bagaimanakah sebetulnya syarat pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan? Menurut Ehlers dan Steel (dalam Entjang, 2000), syarat tersebut antara lain :
  1. Tidak boleh mengotori tanah.
  2. Tidak boleh mengotori air permukaan.
  3. Tidak boleh mengotori air tanah dalam.
  4. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau perkembang biakan vektor penyakit lainnya.
  5. Kakus harus terlindung dari penglihatan orang lain.
  6. Pembuatannya mudah dan murah.
Untuk mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Notoatmodjo,2003).
  1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban.
  2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
  3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
  4. Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang binatang lainya.
  5. Tidak menimbulkan bau.
  6. Mudah digunakan dan dipelihara (maintanance).
  7. Sederhana desainnya.
  8. Murah.
  9. Dapat diterima oleh pemakainya.


                                                                                               
2.3 Metode Pembuangan Tinja
Metode pembuangan tinja secara umum dibagi menjadi dua, Unsewered area dan Sewered area. Unsewered area terdiri Service type (conservancy system) dan Non-service type (sanitary latrines) yang terdiri dari Bore hole latrine, Dug well or pit latrines, Water seal type of latrines (PRAI type dan RCA type), Septic tank, Aqua privy, Chelmical closet. Metode lain berupa Latrines suitable for camps and temporary use yang terdiri dari Shallow trench latrine dan Deep trench latrine

2.4 Penyebaran Penyakit Melalui Tinja
Pembuangan tinja manusia yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencernaan (Soeparman, 2002). Selain dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, juga dapat menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong water borne diseases akan mudah terjangkit. Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi makanan, dan perkembangbiakan lalat. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan antara lain tifoid, paratifoid, disentri, diare, kolera, penyakit cacing, hepatitis viral, dan beberapa penyakit infeksi gastrointestinal lain, serta investasi parasit lain.
Penyebaran penyakit yang bersumber dari tinja dapat melalui berbagai macam cara dan metode. Yang harus kita yakinkan adalah, bahwa tinja sangat berperan besar terhadap penyebaran penyakit. Penyebaran tersebut dapat terjadi secara langsung (misalnya dengan mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran dan sebagainya, maupun secara tidak langsung (melalui media air, tanah, serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya). Juga melalui kontaminasi pada bagian-bagian tubuh.
2.5 Kotoran Manusia Dikembangkan Menjadi Energi Bio Gas
Biogas dari kotoran manusia terus dikembangkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Setelah sebelumnya memasang instalasi pengolahan biogas di bantaran Kali Besole, Kementerian Lingkungan Hidup membangun instalasi yang sama di Pondok Pesantren Darul Quran. Pembangunan instalasi biogas di pesantren ini berpotensi menciptakan ekopesantren atau pesantren berwawasan lingkungan. Ketua Pondok Pesantren Darul Quran Ahmad Haris Masduki mengatakan akan menularkan teknologi pengolahan limbah ini ke pondok pesantren lain pada forum ekopesantren yang akan digelar di Yogyakarta, Rabu. “Pengolahan limbah menjadi biogas mampu menciptakan pondok pesantren yang ramah lingkungan atau ekopesantren,” ujar Haris.
Teknologi pengolahan limbah kotoran manusia yang baru satu bulan terakhir dipasang di Pondok Pesantren Darul Quran ini diadopsi dari Jerman melalui Bremen Overseas Research and Development Association. Dengan mengolah kotoran manusia, pengelola pondok pesantren bisa menghemat pengeluaran uang untuk pembelian bahan bakar hingga Rp 2,5 juta/bulan. Limbah cair dari instalasi pengolahan biogas juga bisa dimanfaatkan bagi pertanian. Dari lahan seluas 1.500 meter persegi, para santri bisa memanen aneka sayuran dengan nilai jual hingga Rp 1,6 juta/bulan. “Keuntungan ekonomi hanya efek samping. Yang terpenting limbah tak lagi menjadi masalah, tetapi justru bermanfaat,” tambah Haris. Santri di Pondok Pesantren Darul Quran, Muhtasin, mengaku, awalnya dia dan sekitar 400 santri lainnya merasa jijik untuk memanfaatkan biogas dari kotoran manusia. Dia dan rekan-rekannya mulai terbiasa memanfaatkan biogas setelah mencicipi rasa masakan yang tidak berbeda dengan menggunakan bahan bakar jenis lain. Sebelum mengenal pengolahan biogas, limbah dari pondok pesantren hanya dibuang ke areal persawahan sehingga mencemari lingkungan. Lewat pengolahan limbah tersebut, para santri juga diajak untuk menjaga kelestarian lingkungan. Ke depannya, pengelola pondok pesantren berharap bisa memanfaatkan olahan limbah kotoran manusia ini sebagai bahan baku pupuk. Sejak Desember lalu, warga di pinggiran kali Besole, Gunung Kidul, juga telah memanfaatkan gas dari kotoran manusia sebagai bahan bakar. Pemerintah memperbaiki toilet warga yang hidup berdesakan di pinggir kali dan menampung seluruh kotoran dari tujuh rumah. Gas dari kotoran tersebut baru bisa dimanfaatkan oleh 13 orang dari dua keluarga.












BAB III
ANALISA MASALAH
1.  Menurut (NOTOATMOJO,2003) dalam bukunya Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Notoatmodjo,2003).
a.       Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban.
b.      Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
c.       Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
d.      Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang binatang lainya.
e.        Tidak menimbulkan bau.
f.       Mudah digunakan dan dipelihara (maintanance).
g.      Sederhana desainnya.
h.      Murah.
i.        Dapat diterima oleh pemakainya.
2. Menurut SOEPARMAN,2002 dalam bukunyaPembuangan tinja manusia yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencernaan. Selain dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, juga dapat menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong water borne diseases akan mudah terjangkit. Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi makanan, dan perkembangbiakan lalat. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan antara lain tifoid, paratifoid, disentri, diare, kolera, penyakit cacing, hepatitis viral, dan beberapa penyakit infeksi gastrointestinal lain, serta investasi parasit lain.
3. Biogas dari kotoran manusia terus dikembangkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Setelah sebelumnya memasang instalasi pengolahan biogas di bantaran Kali Besole, Kementerian Lingkungan Hidup membangun instalasi yang sama di Pondok Pesantren Darul Quran.  menurut “HARIS MASDUKI” Ketua Pondok Pesantren Darul Quran Ahmad mengatakan akan menularkan teknologi pengolahan limbah ini ke pondok pesantren lain pada forum ekopesantren yang akan digelar di Yogyakarta, Rabu. “Pengolahan limbah menjadi biogas mampu menciptakan pondok pesantren yang ramah lingkungan atau ekopesantren,”Biogas dari kotoran manusia terus dikembangkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.

 Dengan mengolah kotoran manusia, pengelola pondok pesantren bisa menghemat pengeluaran uang untuk pembelian bahan bakar hingga Rp 2,5 juta/bulan. Limbah cair dari instalasi pengolahan biogas juga bisa dimanfaatkan bagi pertanian. Dari lahan seluas 1.500 meter persegi, para santri bisa memanen aneka sayuran dengan nilai jual hingga Rp 1,6 juta/bulan. “Keuntungan ekonomi hanya efek samping. Yang terpenting limbah tak lagi menjadi masalah, tetapi justru bermanfaat,” tambah Haris. Santri di Pondok Pesantren Darul Quran.
























BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran






















DAFTAR PUSTAKA