MAKALAH MANAJEMEN
LINGKUNGAN
TENTANG
PENCEMARAN AIR,
TANAH KARENA TINJA MANUSIA
FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
TAHUN 2010-2011
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
DAFTAR ISI
BAB
I PENDHULUAN
a. Latar belakang
b.
Tujuan
c.
Rumusan permasalahan
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pencemaran Tanah dan Air Karena Tinja
2.2 Syarat Pembuangan Tinja
2.3 Metode Pembuangan Tinja
2.4 Penyebaran Penyakit Melalui Tinja
2.5 Kotoran Manusia Dikembangkan Menjadi Energi Bio Gas
BAB
III ANALISA MASALAH
3.1 bagaimana cara
membuat septic tank yang baik untuk mengatasi pencemaran air dan tanah?
3.2 penyakit apa yang yang ditimbulkan oleh
pencemaran tinja manusia?
3.3
apa manfaat dari tinja manusia?
BAB
IV PENUTU
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.latar belakang
Dewasa ini air menjadi
masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama dan cermat. Karena untuk
mendapatkan air yang bersih, sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi
barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah
dari hasil kegiatan manusia , baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah
dari kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Dan ketergantungan manusia terhadap air
pun semakin besar sejalan dengan perkembanga penduduk yang semakin meningkat .
contohnya di daerah surabaya, yang pola penyebaran kepadatan penduduknya tidak
merata dan volume penduduk pendatangnya cukup besar, hal ini mengakibatkan
makin berkembangnya permukiman-permukiman yang kurang terencana baik dalam
bentuk kawasan hunian sub standar dan tidak teratur. Dan dengan adanya
permukiman-permukiman yang kurang terencana, maka dapat mengakibatkan sistem
pembuangan limbah rumah tangga seperti pembuangan limbah kamar mandi/wc dan
dapur tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga limbah tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah yang dapat mengakibatkan terjadinya
penyebaran beberapa penyakit menular. Selain mengakibatkan terjadinya
pencemaran air tanah dapat juga mengkibatkan lingkungan di daerah pemukiman
tersebut menjadi tercemar.
Oleh kerena itu dalam pembuangan limbah
domestik di daerah permukiman tersebut sebaiknya dilakukan pembuatan sistem
jaringan pembuangan limbah yang dapat menumpang dan mengalirkan limbah tersebut
secara baik dan benar, agar dapat mencegah terjadinya kontak antara kotoran
sebagai sumber penyakit dengan air yang sangat diperlukan untuk keperluan hidup
sehari-hari. Oleh karena itu, kualitas dan kualitas air tanah pada daerah
permukiman tersebut harus terjamin, agar dapat di gunakan untuk keperluan hidup
sehari-hari sesuai dengan standart kesehatan dan baku mutu kualitas air.
1.2 tujuan
Untuk mengetahui seberapa besar dampak pencemaran air dan
yang ditimbulkan oleh tinja manusia.
1.3 rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditemukan
permasalahannya sebagai berikut:
1.
bagaimana cara membuat septic tank yang baik untuk mengatasi pencemaran air dan
tanah?
2. penyakit apa yang yang ditimbulkan oleh pencemaran
tinja manusia?
3. apa manfaat dari tinja manusia?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pencemaran tanah dan air karena tinja
Permasalahan
utama pencemaran air di negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah
terkontaminasinya air minum oleh bakteri dan virus yang dapat menyebabkan
kesakitan maupun kematian. Pencemaran tersebut juga terjadi pada air tanah.
Bahan pencemar dapat mencapai aquifer
air tanah melalui berbagai sumber diantaranya meresapnya bakteri dan virus
melalui septic tank.
Diperkirakan pada saat ini hampir sekitar 70 % air tanah di daerah
perkotaan sudah tercemar berat oleh bakteri tinja, padahal separuh penduduk
perkotaan masih menggunakan air tanah. Kondisi perumahan dan lingkungan yang
padat (slum area) serta aktifitas dan berbagai kegiatan yang tanpa perencanaan
lingkungan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Kondisi tersebut antara lain
dapat menyebabkan berbagai kerusakan septick tank, dan pencemaran lainnya.
Menurut studi Bappenas, walaupun sudah terdapat standar nasional tentang
konstruksi septic tank, namun
dalam implementasinya masih banyak terdapat catatan, antra lain :
- Adanya
saluran air yang tersumbat, seharusnya fungsi saluran tersebut adalah
mengalirkan air hujan, tetapi dalam pelaksanaannya dipakai menampung air
kakus dan sampah sehingga jadi sarang penyakit.
- Belum
terdapat peraturan yang mewajibkan penyedotan tinja secara rutin, serta
belum ada pihak yang merasa berkepentingan memeriksa isi septic tank.
- Masih
terdapat pandangan masyarakat bahwa bagus dan tidaknya septic tank.
- Akses
masyarakat terhadap sarana sanitasi (air bersih dan MCK), sehingga
masyarakat terpaksa masih menggunakan sungai.
- Standard
tersebut kurang ditunjang oleh aturan-aturan pendukungnya, seperti belum
adanya aturan yang membatasi jumlah septic
tank per satuan luas kawasan.
- Fasilitas
MCK yang tidak berfungsi secara optimal baik karena usang, salah
konstruksi, tidak terawat, tidak ada air, maupun masyarakat yang belum
siap menerima keberadaannya sesuai fungsinya.
- Kenyataan
masih sebagian besar Influent
industri di kawasan pemukiman dialirkan ke sungai tanpa proses pengelolaan
terlebih dahulu.
- Kebiasaan
buang air besar sembarangan masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat
perkotaan. Berdasarkan data Susenas tahun 2004 lebih dari 12 persen
penduduk perkotaan Indonesia sama sekali tidak memiliki akses ke sarana
jamban.
- Usaha
jasa sedot tinja, seringkali hingga saat ini masih membuang langsung
muatannya ke sungai, alasannya tidak ada Instalasi Pembuangan Lumpur Tinja
(IPLT)/atau tidak berfungsi. Teknis pembuatan jamban masih belum memenuhi
standard, menurut penelitan hampir 35 persen jamban di kawasan perkotaan
dalam kondisi tidak ada air, tidak ada atap atau tidak tersambung ke
septic tank.
Air
tanah dangkal merupakan air tanah yang memiliki kualitas yang pada umumnya
baik, akan tetapi banyak tergantung kepada sifat lapisan tanahnya, apabila
kondisi sanitasi lingkungan sangat rendah maka banyak tercemar oleh bakteri.
Apabila berdekatan dengan industri dengan beban pencemaran tinggi dan tidak
memiliki sistem pengendalian pencemaran air maka akan terpengaruh rembesan
pencemaran. Informasi tentang pola pencemaran tanah dan air tanah oleh tinja
sangat bermanfaat dalam perencanaan sarana pembuangan tinja, terutama dalam
penentuan lokasi sumber air minum. Setelah tinja tertampung dalam lubang atau
septick tank dalam tanah, maka kemampuan bakteri untuk berpindah akan sangat
berkurang. Bakteri akan berpindah secara horizontal dan vertikal ke bawah
bersama dengan air, air seni, atau air hujan yang meresap. Jarak perpindahan
bakteri akan sangat bervariasi, tergantung pada berbagai faktor, diantaranya
yang terpenting adalah porositas tanah. Perpindahan horizontal melalui tanah
dengan cara itu biasanya kurang dari 90 cm, dengan perpindahan kearah bawah
kurang dari 3 m pada lubang yang terbuka terhadap air hujan, dan biasanya
kurang dari 60 cm pada tanah berpori.
Menurut
Gotaas, dkk dalam Soeparman (2002), yang meneliti pembuangan secara buatan
limbah cair ke akuifer di Negara Bagian California, AS, menemukan bahwa bakteri
dapat berpindah sampai jarak 30 m dari titik pembuangannya dalam waktu 33 jam.
Selain itu, terdapat penurunan cepat jumlah bakteri sepanjang itu karena
terjadi filtrasi yang efektif dan kematian bakteri. Peneliti lain yang meneliti
pencemaran air tanah di Alaska mencatat bahwa bakteri dapat dilacak sampai
jarak 15 m dari sumur tempat dimasukkannya bakteri yang dicoba. Lebar jalan
yang dilewati bakteri bervariasi, antara 45 dan 120 cm. Kemudian, terjadi
penurunan jumlah organisme, dan setelah satu tahun hanya lubang tempat
dimasukkanya saja yang dinyatakan positif mengandung organisme.
2.2 Syarat
Pembuangan Tinja
Akses masyarakat terhadap sarana sanitasi khususnya jamban, saat ini
masih jauh dari harapan. Berbagai kampanye dan program telah banyak dilakukan,
terakhir dengan pemberlakuan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Berbagai upaya tersebut sebetulnya bermuara pada terpenuhinya akses sanitasi
masyarakat, khususnya jamban. Namun akses tersebut selain berbicara kuantitas
yang terpenting adalah kualitas. Perdebatan tentang pengertian sanitasi total,
pada tahap awal akan terjadi pada ranah defenisi dan pengertian. Untuk menuju
sanitasi total, penting untuk memastkan faktor supply dan demand tercapai
dengan maksimal, untuk mewujudkan Open Defecation Free (ODF) pada tingkat
komunitas.
Kenyataan
di lapangan status ODF masih belum seiring dengan terpenuhinya syarat kualitas
sarana (dan ini memang sering kali harus diabaikan dulu untuk mengejar
perubahan perilaku). Namun bagaimanakah sebetulnya syarat pembuangan tinja yang
memenuhi syarat kesehatan? Menurut Ehlers dan Steel (dalam Entjang, 2000),
syarat tersebut antara lain :
- Tidak
boleh mengotori tanah.
- Tidak
boleh mengotori air permukaan.
- Tidak
boleh mengotori air tanah dalam.
- Kotoran
tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau
perkembang biakan vektor penyakit lainnya.
- Kakus
harus terlindung dari penglihatan orang lain.
- Pembuatannya
mudah dan murah.
Untuk
mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan,
maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya
pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu
jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut (Notoatmodjo,2003).
- Tidak
mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban.
- Tidak
mengotori air permukaan di sekitarnya.
- Tidak
mengotori air tanah di sekitarnya.
- Tidak
dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang
binatang lainya.
- Tidak
menimbulkan bau.
- Mudah
digunakan dan dipelihara (maintanance).
- Sederhana
desainnya.
- Murah.
- Dapat
diterima oleh pemakainya.
2.3 Metode Pembuangan Tinja
Metode pembuangan tinja secara umum dibagi menjadi dua, Unsewered area dan Sewered area.
Unsewered area terdiri Service type
(conservancy system) dan
Non-service type (sanitary latrines) yang terdiri dari Bore hole latrine, Dug well or pit
latrines, Water seal type of latrines (PRAI type dan RCA type),
Septic tank, Aqua privy, Chelmical closet. Metode lain berupa Latrines suitable for camps and temporary
use yang terdiri dari Shallow trench latrine dan Deep trench latrine
2.4 Penyebaran Penyakit Melalui Tinja
Pembuangan tinja manusia yang tidak ditangani dengan baik dapat
menimbulkan pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah yang berpotensi
menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencernaan
(Soeparman, 2002). Selain dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, juga
dapat menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan,
karena penyakit yang tergolong water
borne diseases akan mudah terjangkit. Bahaya terhadap kesehatan
yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi
makanan, dan perkembangbiakan lalat. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan
antara lain tifoid, paratifoid, disentri, diare, kolera, penyakit cacing,
hepatitis viral, dan beberapa penyakit infeksi gastrointestinal lain,
serta
investasi parasit lain.
Penyebaran
penyakit yang bersumber dari tinja dapat melalui berbagai macam cara dan
metode. Yang harus kita yakinkan adalah, bahwa tinja sangat berperan besar
terhadap penyebaran penyakit. Penyebaran tersebut dapat terjadi secara langsung
(misalnya dengan mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran dan sebagainya,
maupun secara tidak langsung (melalui media air, tanah, serangga (lalat, kecoa,
dan sebagainya). Juga melalui kontaminasi pada bagian-bagian tubuh.
2.5 Kotoran Manusia Dikembangkan Menjadi Energi Bio
Gas
Biogas dari kotoran manusia terus dikembangkan di
wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Setelah sebelumnya memasang instalasi
pengolahan biogas di bantaran Kali Besole, Kementerian Lingkungan Hidup
membangun instalasi yang sama di Pondok Pesantren Darul Quran. Pembangunan
instalasi biogas di pesantren ini berpotensi menciptakan ekopesantren atau
pesantren berwawasan lingkungan. Ketua Pondok Pesantren Darul Quran Ahmad Haris
Masduki mengatakan akan menularkan teknologi pengolahan limbah ini ke pondok
pesantren lain pada forum ekopesantren yang akan digelar di Yogyakarta, Rabu.
“Pengolahan limbah menjadi biogas mampu menciptakan pondok pesantren yang ramah
lingkungan atau ekopesantren,” ujar Haris.
Teknologi pengolahan limbah kotoran manusia yang baru
satu bulan terakhir dipasang di Pondok Pesantren Darul Quran ini diadopsi dari
Jerman melalui Bremen Overseas Research and Development Association. Dengan
mengolah kotoran manusia, pengelola pondok pesantren bisa menghemat pengeluaran
uang untuk pembelian bahan bakar hingga Rp 2,5 juta/bulan. Limbah cair dari
instalasi pengolahan biogas juga bisa dimanfaatkan bagi pertanian. Dari lahan
seluas 1.500 meter persegi, para santri bisa memanen aneka sayuran dengan nilai
jual hingga Rp 1,6 juta/bulan. “Keuntungan ekonomi hanya efek samping. Yang
terpenting limbah tak lagi menjadi masalah, tetapi justru bermanfaat,” tambah
Haris. Santri di Pondok Pesantren Darul Quran, Muhtasin, mengaku, awalnya dia
dan sekitar 400 santri lainnya merasa jijik untuk memanfaatkan biogas dari
kotoran manusia. Dia dan rekan-rekannya mulai terbiasa memanfaatkan biogas
setelah mencicipi rasa masakan yang tidak berbeda dengan menggunakan bahan
bakar jenis lain. Sebelum mengenal pengolahan biogas, limbah dari pondok
pesantren hanya dibuang ke areal persawahan sehingga mencemari lingkungan.
Lewat pengolahan limbah tersebut, para santri juga diajak untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Ke depannya, pengelola pondok pesantren berharap bisa
memanfaatkan olahan limbah kotoran manusia ini sebagai bahan baku pupuk. Sejak
Desember lalu, warga di pinggiran kali Besole, Gunung Kidul, juga telah
memanfaatkan gas dari kotoran manusia sebagai bahan bakar. Pemerintah
memperbaiki toilet warga yang hidup berdesakan di pinggir kali dan menampung
seluruh kotoran dari tujuh rumah. Gas dari kotoran tersebut baru bisa
dimanfaatkan oleh 13 orang dari dua keluarga.
BAB III
ANALISA MASALAH
1. Menurut (NOTOATMOJO,2003) dalam bukunya Suatu
jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut (Notoatmodjo,2003).
a.
Tidak
mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban.
b.
Tidak
mengotori air permukaan di sekitarnya.
c.
Tidak
mengotori air tanah di sekitarnya.
d.
Tidak
dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang binatang
lainya.
e.
Tidak menimbulkan bau.
f. Mudah digunakan dan dipelihara (maintanance).
g.
Sederhana
desainnya.
h.
Murah.
i.
Dapat
diterima oleh pemakainya.
2. Menurut “SOEPARMAN,2002” dalam bukunyaPembuangan tinja manusia yang tidak ditangani dengan baik dapat
menimbulkan pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah yang berpotensi
menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencernaan.
Selain dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, juga dapat menjadi
sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit
yang tergolong water borne diseases
akan mudah terjangkit. Bahaya terhadap kesehatan yang dapat
ditimbulkan adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi makanan, dan
perkembangbiakan lalat. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan antara lain
tifoid, paratifoid, disentri, diare, kolera, penyakit cacing, hepatitis viral, dan
beberapa penyakit infeksi gastrointestinal lain, serta investasi parasit lain.
3. Biogas dari
kotoran manusia terus dikembangkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Setelah
sebelumnya memasang instalasi pengolahan biogas di bantaran Kali Besole,
Kementerian Lingkungan Hidup membangun instalasi yang sama di Pondok Pesantren
Darul Quran. menurut
“HARIS MASDUKI”
Ketua Pondok Pesantren Darul Quran Ahmad mengatakan akan menularkan teknologi
pengolahan limbah ini ke pondok pesantren lain pada forum ekopesantren yang
akan digelar di Yogyakarta, Rabu. “Pengolahan limbah menjadi biogas mampu
menciptakan pondok pesantren yang ramah lingkungan atau ekopesantren,”Biogas
dari kotoran manusia terus dikembangkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.
Dengan mengolah
kotoran manusia, pengelola pondok pesantren bisa menghemat pengeluaran uang
untuk pembelian bahan bakar hingga Rp 2,5 juta/bulan. Limbah cair dari
instalasi pengolahan biogas juga bisa dimanfaatkan bagi pertanian. Dari lahan
seluas 1.500 meter persegi, para santri bisa memanen aneka sayuran dengan nilai
jual hingga Rp 1,6 juta/bulan. “Keuntungan ekonomi hanya efek samping. Yang
terpenting limbah tak lagi menjadi masalah, tetapi justru bermanfaat,” tambah
Haris. Santri di Pondok Pesantren Darul Quran.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA